ISLAM RADIKALISME
Pendahuluan.
Islam sejatinya adalah agama yang
memberikan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua
makhluknya. Tidak ada satupun ajaran di dalamnya yang,mengajarkan kepada
umatnya untuk membenci dan melukai makhluk lain, kalaupun ada, itu adalah
bagian kecil dari salah satu upaya pemecahan masalah yang dilakukan umatnya dan
bukan ajarannya. Kitab suci Al Qur’an dan Sunah rasul diyakini oleh umat Islam
sebagai sumber utama dalam memecahkan semua persoalan yang ada. Keyakinan ini
adakalanya bisa menjadi obat penenang dan bisa juga menjadi alasan untuk
merugikan pihak lain, semua itu tergantung dari umatnya dalam memahami teks
kitab suci ataupun sunah Nabi.
Kalau kita mau jujur, Islam dalam
sejarahnya acapkali melahirkan peperangan dan pertumpahan darah. di mulai dari
peristiwa Qabil dan habil, perebutan kekuasaan pada masa sahabat, tabi’in dan
mungkin hingga sekarang (tragedy bom bali, semanggi, dan hotel ritz calton), label
peperangan, pertumpahan darah, kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan seakan-akan
masih terpatri kuat. Semua ini terjadi adalah akibat dari ulah oknum umat Islam
yang seenaknya dan semena-mena dalam memahami ajaran yang ada. Akibatnya adalah
stigma buruk yang dimunculkan masyarakat lain terhadap Islam. Dari sekian
banyak kasus yang melahirkan stigma buruk terhadap Islam, hal ini tidak hanya
disebabkan kesalah fahaman dalam memahami ajaran agama, setidaknya terdapat dua
faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan Radikalisme Islam di Indonesia.
Pertama, faktor internal. Dalam
konteks ini, munculnya reaksi kalangan Muslim, yang pada prakteknya tidak
jarang menampakkan wajah Islam yang “bengis”, intoleran disebabkan adanya
pressing politik dari pemerintah. Biasanya persoalan agama kalau sudah
ditunggangi oleh kepentingan politik dan kekeuasaan, agama tidak lagi menjadi
sakral dan profane, agama acapkali dijadikan alasan kebenaran untuk
melampiaskan hawa nafsu. Selain itu Islam sebagai sebuah tatanan nilai universal
sering tidak mendapatkan ruang cukup untuk berekspresi dalam bidang politik.
Bahkan dalam tataran tertentu termarjinalkan. Kondisi ini melahirkan ironi,
sebab Muslim merupakan mayoritas di negeri ini. Kekesalan ini akhirnya
membuncah dan mendapatkan momennya pada era reformasi. Seperti disebut di atas,
reaksi ini tidak jarang bersifat radik.
Kedua, faktor eksternal. Hal ini
terkait dengan proses globalisasi. Proses globalisasi meniscayakan adanya
interaksi sosial-budaya dalam skala yang luas. Dalam konteks ini, Islam sebagai
tatanan nilai dihadapkan dengan tatanan nilai-nilai modern, yang pada titik
tertentu bukan saja tidak selaras dengan nilai-nilai yang diusung Islam, tapi
juga berseberangan secara diametral. Akhirnya, proses interaksi global ini menjadi
sebuah kontestasi kekuatan, di mana satu sama lain saling memengaruhi bahkan
“meniadakan”.
Kondisi ini telah menyebabkan
sebagian Muslim memberikan reaksi yang kurang proporsional. Mereka bersikukuh
dengan nilai Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkhis.
Sikap sebagian Muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan
radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme
yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras di Indonesia. Dari pemaparan singkat
ini penulis mencoba membahas sedikit lebih dalam mengenai radikalisme Islam di
Indonesia yang mana akhir-akhir ini (pasca reformasi) geliat gerakan
radikalisem mulai marak dan bertebaran di wilayah Indoensia. Yang menjadi inti
dari pembahasan adalah faktor apa yang mendorong mereka sangat bersemangat
dalam “membela Tuhan”, yang kalau ditelisk lebih dalam sebenarnya gerakan
mereka belum tentu benar menurut prespectif masyarakat Islam mayoritas. Dan
juga hal apa yang ingin menjadi tujuan dari gerakan mereka.
B. Sejarah Berkembangnya Islam dan Radikalisme di Indonesia.
Istilah radikalisme berasal dari
bahasa latin radix, yang artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau
bisa juga secara menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut
perubahan. sedangkan secara terminologi Radikalisme adalah aliran atau faham
yang radikal terhadap tatanan politik; paham atau aliran yang menuntut
perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras[1].
Perkembangan Islam di Indonesia
pasca di sebarkan oleh para wali ke depannya mengalami kemunduran dalam hal
hidup berdampingan dengan penuh kebersamaan ditengah-tengah perbedaan.
Setidaknya hal ini dapat dilihat dari awal masuknya Islam di Indonesia
(Nusantara). Dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia, proses penyebaran agama
tersebut terbilang cukup lancar serta tidak menimbulkan konfrontasi dengan para
pemeluk agama sebelumnya. Pertama kali masuk melalui Pantai Aceh, Islam dibawa
oleh para perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan sebagian dari
mereka juga ada yang berasal dari Gujarat (India). Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya proses Islamisasi secara damai itu karena kepiawaian para
muballigh-nya dalam memilih media dakwah, seperti pendekatan sosial budaya,
tata niaga (ekonomi), serta politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian
muballigh memanfaatkan wayang sebagai salah satu media dakwah. Dengan
ketrampilan yang cukup piawai, Sunan Kalijaga misalnya, mampu menarik simpati
rakyat Jawa yang selama ini sudah sangat akrab dengan budaya yang banyak
dipengaruhi oleh tradisi Hindu Budha tersebut.[2] Bahkan, beberapa di antara hasil kreasinya
tersebut mampu menjadi salah satu tema dari tema-tema pewayangan yang ada,
termasuk gubahan lagu-lagu yang berkembang di benak penganut agama hindu.
Selain menggunakan media tradisi dan
budaya, para pembawa panji Islam itu juga memanfaatkan aspek ekonomi (tata
niaga) untuk mengembangkan nilai-nilai serta ajaran Islam. Dari berbagai
literatur terungkap bahwa aspek tersebut menempati posisi cukup strategis dalam
upaya untuk melakukan Islamisasi di bumi Nusantara. Hal itu bisa dipahami
karena sebagian besar para pedagang –kala itu– telah memeluk agama Islam,
seperti pedagang dari Arab Saudi, maupun dari daerah lain, seperti Gujarat,
termasuk juga Cina. Salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat Nusantara
untuk mengikuti agama para pedagang tersebut, karena tata cara dagang serta
perilaku sehari-hari lainnya dianggap cukup menarik dan lebih mengenai dalam
sanubari masyarakat setempat.[3]
Setelah Islam makin kokoh
menancapkan pengaruhnya di Indonesia, Islam pun mulai meningkatkan perannya.
Dari yang semula memerankan diri sebagai basis pengembangan sistem
kemasyarakatan, lambat-laun mulai meningkatkan perannya ke areal politik
melalui upaya untuk mendirikan kerajaan Islam. Antara lain, kerajaan Pasai,
Kerajaan Demak, Mataram, dan Pajang. Namun, semua itu mengalami keruntuhan
karena adanya berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh konflik internal di
antara para anggota keluarga kerajaan, maupun faktor eksternal seperti serbuan
dari para koloni seperti Portugis dan Belanda.[4] Namun demikian, posisi Islam tetap tak
terpengaruh oleh berbagai dinamika sejarah tersebut, melainkan tetap kukuh dan
makin menyatu dengan kehidupan masyarakat. Singkat kata, Islam di Indonesia
hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang ramah dan santun. Gejolak dan
dinamika yang sifatnya radikal nyaris tidak tampak.
Namun seiring perjalanan waktu,
Dalam konteks ke Indonesiaan dakwah dan perkembangan Islam mengalami kemunduran
dan penuh dengan penodaan. Gejala kekerasan melalui gerakan radikalisme mulai
bermunculan. Terlebih setelah Kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut
Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air telah mengubah
konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras dan tidak
mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab
Saudi. Padahal sebelumnya hampir semua para pendatang Arab yang datang ke Asia
Tenggara adalah penganut mazhab Syafi’i yang penuh dengan teloransi. Kelak,
ideologi ini melahirkan tokoh semisal Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ja’far Umar
Talib dan Habib Rizieq Shihab yang dituduh sebagai penganut Islam garis keras.
Kemudian dalam catatan sejarah radikalisem Islam semakin
menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo
memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). sebuah gerakan
politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam
sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan
ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan
radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau
melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang
merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan
berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam.
Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa
kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok
radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah
lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya
gerakan ini lebih visible.[5]
Setelah DI, muncul Komando Jihad
(Komji) pada 1976 kemudian meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front
Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola
Perjuangan Revolusioner Islam, 1978.[6] tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi
muncul lagi gerakan yang beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin
M. Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa wilayah
Indonesia, seperti Poso, Ambon dll. Semangat yang dimunculkan pun juga tidak
luput dari persoalan politik. Persoalan politik memang sering kali menimbulkan
gejala-gejala tindakan yang radikal.
Dalam konteks Internasional,
realitas politik standar ganda Amerika Serikat (AS) dan sekutunya merupakan
pemicu berkembangnya Radikalisme Islam. Perkembangan ini semakin menguat
setelah terjadinya tragedi WTC pada 11 September 2001. mengenai tragedi ini AS
dan sekutunya disamping telah menuduh orang-orang Islam sebagai pelakunya juga
telah mnyamakan berbagai gerakan Islam militan dengan gerakan teroris. Selain
itu, AS dan aliansinya bukan hanya menghukum tertuduh pemboman WTC tanpa bukti,
yakni jaringan Al Qaeda serta rezim Taliban Afganistan yang menjadi
pelindungnya, tetapi juga melakukan operasi penumpasan terorisme yang melebar
ke banyak geraka Islam lain di beberapa Negara, termasuk Indonesia.[7]
Realitas politik domestik maupun
Internasional yang demikian itu dirasa telah menyudutkan Islam, di mana hal ini
telah mendorong kalangan Islam Fundamentalis untuk bereaksi keras dengan
menampilkan diri sebagai gerakan radikal, yang diantaranya menampilkan
simbol-simbol anti-AS dan sekutunya. Kondisi ini telah menyebabkan sebagian
Muslim memberikan reaksi yang kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan
nilai Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkhis. Sikap
sebagian Muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan
radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme
yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras di Indonesia.
Pada dasarnya, Istilah Radikalisme
sebenarnya bukan merupakan konsep yang asing. Secara umum ada tiga
kecenderungan yang menjadi indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan
respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut
muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah
yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang
bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti
pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut
dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme
terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis
berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang
ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal
mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar. Ketiga adalah
kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka
bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafian kebenaran sistem
lain yang akan diganti dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran
program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang
mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti ‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan
tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional
di kalangan kaum radikalis.
Radikalisme keagamaan sebenarnya
fenomena yang biasa muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan
erat dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada
dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan
agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya
fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan
untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi sosial politik yang
mengelilingi masyarakat.
Mohammed Arkoun (1999) melihat
fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan, yakni, masalah
ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di tengahnya. Manusia
tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa fundamentalisme secara
serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam. Sementara fenomena politik
dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang
meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian juga dengan memahami
perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah
menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam tidak pernah
menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini
hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam
sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam
Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu[8]
Dalam konstelasi politik Indonesia,
masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga makin
meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini terkadang berbeda tujuan, serta
tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi
syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang
memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia:, disamping yang
memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun beragam,
mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan
Hizbut tahrir Indonesia sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, FPI
dan FPISurakarta.[9]
Ketika kita melihat gerakan-gerakan
keagamaan di Indonesia, kita akan banyak menemukan beberapa karakter yang sama
baik cara, metode dan model yang sering mereka lakukan. Baik itu gerakan yang
baru ataupun yang lama. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar gerakan-gerakan
yang diciptakan untuk merespon aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan kehidupan
sosial politik yang bisa mendatangkan konsekuensi religiusitas tertentu. Hal
ini bisa terjadi, menurut Amin Rais (1984), karena Islam dari sejak
kelahirannya bersifat Revolusioner seperti bisa dilihat melalui sejarahnya.
Revolusi adalah suatu pemberontakan
yang dilakukan oleh orang-orang dari suatu daerah atau negara terhadap keadaan
yang ada, untuk menciptakan peraturan dan tatanan yang diinginkan. Dengan kata
lain, revolusi menyiratkan pemberontakan terhadap keadaan yang menguasai,
bertujuan menegakkan keadaan yang lain. Karena itu ada dua penyebab
revolusi : (1) ketidak puasan dan kemarahan terhadap keadaan yang ada, (2).
Keinginan akan keadaan yang didambakan. Mengenali revolusi artinya mengenali
faktor-faktor penyebab ketidakpuasan dan ideal cita-cita rakyat.[10]
Gerakan radikalisme yang muncul di
Indonesia sebagian besar adalah berangkat dari ketidak puasan dan adanya
keinginan untuk menjadikan atau menerapkan syariat Islam di Indonesia, bagi
mereka, terjadinya ketidak adilan, banyaknya korupsi, krisis yang berkepanjagan
dan ketidak harmonisan antara kaya dan miskin adalah akibat dari tidak
diterapkannya syariat Islam.
C. Faktor-faktor Penyebab dan Indikasi Radikalisme
Banyaknya gerakan-gerakan
radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul ini karena adanya beberapa
faktor yang menjadi penyebab. Antara lain[11] :
- Variabel
Norma dan Ajaran
Ajaran yang ada mempengaruhi tingkah
lakudan tindakan seorang muslim yang berasal dari Qur’an dan Hadis. (mungkin
juga Ijma). Ajaran ini diinterpretasikan dan diinternalisasi. Karan ajaran yang
ada sangat umum, hal ini memungkinkan munculnya beberapa interpretasi. Hal ini
juga dimungkinkan karena setiap anggota masyarakat muslim mengalami sosialisasi
primer yang berbeda, disamping pengalaman, pendidikan dan tingkatan ekonomi
mereka juga tidak sama. Dari hasil interpretasi ini memunuclkan apa yang
diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakt Islam.
- Variabel
sikap atau pemahaman mengenai tiga isu penerapan syariat Islam, bentuk
negara Islam Indonesia dan Khalifah Islamiyah.
Sikap ini adalah kelanjutan dari
penafsiran terhadap ajaran agama Islam. Diasumsikan bahwa ada beberapa sikap
umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan ajaran Islam. Sikap ini
tersimbolkan dalam penerapan pemahaman Muslim terhadap ajaran agama mereka.
Dalam hal ini ada tiga golongan : sekuler atau nisbi, substansialis dan
skriptualis.
- Variabel
sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial
nyata dalam masyarakat. Hal ini termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor
domestik dan Internasional. Hegomoni politik oleh negara atau represi yang
dilakukan oleh kelompok apapun terhadap umat Islam akan melahirkan
respon yang berbeda dari berbagai kelompok yang ada. Kalnagan nisbi sama
sekali tidak merspon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya
kelompok skriptualis yangdiasumsikan akan memperlihatkan sikap radikal.
Kelompok substansialis meskipun punya kepedulian terhadap Islam dan juga
umatnya dalam berbagai bidang, akan memperlihatkan sikap moderat. Misalnya
mereka akan kelihatan luwes baik mengenai negara Islam atau Khilafah
Islamiyah maupun mengenai (formalisasi) penerapan syriat Islam.
Secara umum ada tiga kecenderungan
yang menjadi indikasi radikalisme.[12] Pertama, radikalisme merupakan respons
terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul
dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang
ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang
bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti
pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut
dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme
terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis
berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang
ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal
mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar.
Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama
dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan
sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan
dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti
‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.
Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil persilangan
Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan
al-Maududi terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar Indonesia yang belajar
di Mesir dan Pakistan. Pemikiran mereka membangun cara memahami Islam ala garis
keras. Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin melekat dalam ingatan.
Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati perkembangan komunitas
usroh di banyak kampus atau organisasi Islam. Seperti FPI, HTI dan PKS. Istilah
radikalisme Islam kian menguat tak hanya pada matra tekstualitas agama.
Persentuhan dengan dunia kini, menuntut adanya perluasan gerakan. Mulai dari
sosio ekonomi, pendidikan hingga ranah politik.
D. Analisis
Munculnya radikalisme Islam di
Indonesia ditengarai salah satunya adalah karena kehadiran orang-orang Arab
muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia. Kehadiran mereka ke tanah air tidak
dengan tangan kosong, namu mereka datang dengan membawa ideologi baru ke tanah air
yang telah mampu mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Telah banyak
Sejumlah kajian dilakukan oleh banyak pakar untuk mempelajari para pendatang
dari Arab ke tanah air. Kehadiran mereka ini pada akhirnya menjadi sangat
fenomenal di Indonesia karena pengaruh mereka dianggap berbahaya. Terdapat
Salah satu hasil pemahaman yang dimunculkan dari ideologi ke Timuran (wahabi)
ke tanah air yang kemudian dianggap berbahaya karena kesalahfahaman dalam
menafsirkan ajaran tersebut. Yakni, konsep jihad yang menyimpan banyak
tafsir. Dari adanya kesalahfahaman dalam menafsirkan konsep jihad. Hal ini
kemudian memunculkan kesan bahwa radikalisme dalam Islam semakin terpatri kuat
oleh sebagian masyarakat.
Jihad, berarti usaha sungguh-sungguh
dijalan Allah, atau dalam definisi hukumnya, menyerahkan atau menyediakan
sesuatu yang dimiliki untuk kepentingan agama, termasuk harta, ilmu, jiwa,
waktu dan lainnya. Defenisi tersebut dilukiskan oleh Fakhruddin al-Turayhi,
salah seorang Ulama Islam abad ke 11. Konsep Jihad dalam Islam ini sering
difahami keliru oleh sebagian kelompok umat Islam dan kemudian didukung oleh
para orientalis, bahwa konsep jihad yang dikembangkan adalah dengan hanya
mengidentikkannya dengan angkat senjata. Pada hakekatnya, menurut Sufyan
Al-Thauri, Ulama besar abad kedua Hijri, jihad mencakup aneka ragam aktifitas;
ia terdiri dari 10 bagian, hanya satu diantaranya dalam bentuk mengangkat
senjata. Bentuk inipun tidak dibenarkan apabila lawan menghendaki perdamaian.
(Q. 8:61). Adapun 9 bagian lainnya, lanjut al-Thauri, termasuk diantaranya
jihad dengan membelanjakan harta. Allah, bahkan mendahulukan orang-orang yang
membelanjakan hartanya di jalan Allah ketimbang mereka yang berjihad
mengorbankan nyawanya. (Q. 49:15).
Namun sangat disayangkan perilaku sebagian
kelompok umat Islam dalam berdakwah banyak yang memaknai jihad adalah perang
dengan angkat senjata, sehingga ketika melihat kemaksiatan dan kemunkaran
sedikit mereka (kelompok umat Islam fundamentalis) langsung menanggapinya
dengan emosianal dan angkat senjata. Sikap emosional yang dimunculkan oleh
mereka juga sering ditampakan melalui jalur politik dan kekuasaan dengan
memaksakan formalisasi Islam di segala lini.
Antara fundamental-ideologis atau
kuasa politik, tak bisa menolak realitas pengeremangan Islam. Pemurnian Islam
yang dibayangkannya terjebak pada penistaan. Egoisme politik telah mengaburkan
cara beragama mereka. Dan, mimpi formalisasi syariat dengan tindak kekerasan
hanya menyudutkan Islam. Bahwa Islam sebentuk agama penganjur kedamaian sekaligus
keretakan sosial. Antara fundamental-ideologis atau kuasa politik, tak bisa
menolak realitas peneremangan Islam. Pemurnian Islam yang dibayangkannya
terjebak pada penistaan. Egoisme politik telah mengaburkan cara beragama
mereka. Dan, mimpi formalisasi syariat dengan tindak kekerasan hanya
menyudutkan Islam. Bahwa Islam sebentuk agama penganjur kedamaian sekaligus
keretakan sosial.
Dari sini, ideologi radikal tampak
begitu dekat dengan permainan kuasa. Menempuh jalur politik diyakini dapat
mengantarkan Islam pada kondisi lebih tinggi, yaitu, mimpi formalisasi syariat
dan terbentuknya negara Tuhan. Sampai kini, kaum radikal terus berjuang untuk
dua hal itu, baik melalui lobi-lobi politik maupun fundamental-ideologis.
Ironisnya, Islam hanya dijadikan pendasaran politik kepentingan. Padahal, dalam
praktiknya, teror, anarki dan kekerasan secara bergantian dilakukannya. Tidak
ada batas baik-buruk, moral-amoral. Semuanya berjalan di tataran politik yang
menjauh dari Islam. Akhirnya, radikalisme kadang keliru dalam memahami Islam.
Mungkin, di sinilah letak kekuatan
radikalisme Islam Indonesia. Semakin melekat dalam setiap segmentasi sosial,
semakin susah dibendung. Ia pandai membaca ruang sosial yang tak cepat lekang.
Karena memahami setiap ruang akan mengantarkan radikalisme mencipta mentalitas
kultural.
E. Kesimpulan
Radikalisme merupakan persoalan
kompleksitas yang tidak berdiri sendiri. Hampir seluruhnya memiliki pendasaran
sangat politis dan ideologis. Layaknya sebuah ideologi yang terus mengikat,
radikalisme menempuh jalur agama untuk dapat membenarkan segala tindakan
anarki. Maka, Islam tak sama dengan radikalisme.
Radikalisme keagamaan sebenarnya
fenomena yang biasa muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan
erat dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada
dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan
agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya
fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan
untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi sosial politik yang
mengelilingi masyarakat.
Mohammed Arkoun (1999) melihat
fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan, yakni, masalah
ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di tengahnya. Manusia
tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa fundamentalisme secara
serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam. Sementara fenomena politik
dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang
meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian juga dengan memahami
perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah
menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam tidak pernah
menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini
hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam
sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik. Radikalisme
Islam Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu.
Radikalisme Islam Indonesia lahir
dari hasil persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna,
Sayyid Qutb dan al-Maududi terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar
Indonesia yang belajar di Mesir dan Pakistan. Pemikiran mereka membangun cara
memahami Islam ala garis keras. Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin
melekat dalam ingatan. Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati
perkembangan komunitas usroh di banyak kampus atau organisasi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arfina, Eka Yani, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
DIlengkapi Dengan EYD dan Singkatan Umum, Surabaya : Tiga Dua. Tt.
Azra, Azumardi dalam Artikel Tempo (15-12-02) “Radikalisme
Islam Indonesia
Al-Faruqi, Lois Lamya “Atlas Budaya Islam,” (terj :
Ismail Raji Al-faruqi), Mizan, Jakarta, 2001
IAIN Syarif Hidayatullah, “Ensiklopedi Islam Indonesia”,
Djambatan, Jakarta, 1992.
Murthadha Muthahhari, Falsafah Pergerakan Islam, Peny
: Muhammad Siddik, Jakarta : Mizan, Cet.3 1993.
Turmudi, Endang (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta :LIPI Press, 2005.
Zaki Mubarak, Muhammad, Geneologi Islam Radikal di
Indonesia, Jakarta :LP3ES, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar