Minggu, 13 Desember 2015

GENERAL REVIEW

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADIS


Dosen Pengampu:
Dr. H. M Akib, M.Ag


Disusun oleh:
Ayu Uswatun Khasanah-933402215
Psikologi-A
PRODI PSIKOLOGI ISLAM
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN KEDIRI
2015/2016


A.  PENDAHULUAN
          Hadits yang menurut bahasa memiliki arti sesuatu yang baru memiliki pengertian secara terminologi segala bentuk kalam selain kalam yang berasal dari Allah itu bersifat hadits (baru), sedangkan kalam Allah itu memiliki sifat Qodim (terdahulu). Sedangkan para ulama mendefinisikan dengan segala sesuatu yang berasal dari Nabi atau sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik itu erkataan, perbuatan, ataupun taqrirnya. Selain istilah hadits, juga terdapat istilah lain yaitu Atsar, Sunnah, dan juga Khabar.
Sering dengan perkembangan kodifikasi hadits, diikuti pula dengan berkembangnya ilmu hadits. Ilmu hadits mencakup dua objek kajian pokok, yaitu ilmu hadits riwayatul dan ilmu hadits dirayah. Mushthalahul hadits membahas tentang makna yang terkandung dalam lafadz hadits berdasarkan kaidah tertentu seperti membahas tentang rawi, sanad, musnad, dan matan, diterima atau ditolaknya suatu hadits.
















B.    MUSTHALAHUL HADITS
       Tahamul berasal dari kata masdar تحملا-يتحمل-تحمل yang berarti menanggung,membawa,atau bisa diterjemahkan dengan menerima. Ulama sepakat bahwa yang di maksud dengan tahamul al-hadits adalah[1]. Sedangkan dari segi terminologi al-hadits adalah[2] . definisi lain mengatakan[3]. Ulama hadits memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz, untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyiz dalam hal ini ulama hadits pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau10 tahun, atau 20 tahun, bahkan ada yang mengatakan minimal berrusia 30 tahun. Hadits sendiri memiliki nama lain yaitu atsar, sunnah, dan khabar. Yang secara bahasa diartikan khabar adalah “berita”, Sunnah yang  berarti “jalan”, dan atsar yang berarti “bekas” atau bisa juga “dinukilkan”.
Beberapa istilah mengatakan bahwa dalam pendapat musthalahul hadits yaitu sunnah menurut pengertian dalam alqur’an[4]. Kedua hadits nama lainnya juga disebut sunnah menurut jumhuru’i-muhadditsin[5]. Khabar mempunyai tiga makna[6]. Karna semua hadits bersumber dari Nabi dan sedangkan khabar dari selainnya Nabi. Orang yang menekunni khabar disebut[7]. Atsar, sebagai hadits mauquf yaitu datangnya dari sahabat dan hadits marfu datangnya dari perkataan nabi[8], dan orang yang menekuni atsar disebut[9].
Dari ke-empat istilah diatas bahwa kebanyakan para muhadditsin itu berpendapat isilah tersebut hampir sama satu sama lainnya, yah meskipun ada pula tidak berpendapat tapi ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa hadits datangnya dari Nabi Muhammad saja, sedangkan khabar datangnya dari selainnya Nabi. Hadits adalah khabar, sedangkan khabar setiap khabar tidak dapat disebut hadits. Dari hadits dan khabar, ada istilah yang lebih umum daripada keduannya yaitu atsar[10]. Para muhadditsin menggunakan istilah[11].
Suatu hadits mengandung tiga unsur yang selalu ada pada hadits, yaitu rawi[12], sanad[13] dan matan[14]. Rawi adalah sebutan untuk seseorang yang meriwayatkan hadits, rawi hampir sama dengan sanad, perbedaannya pada hal pembukuan hadits. Setiap sanad adalah rawi, tapi setiap rawi belum tentu sanad seperti halnya hadits dan khabar. Di dalam sanad terdapat tiga istilah kata yaitu isnad[15], musnid[16] dan musnad[17].

C.   SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADITS
            Periode pertama adalah pada masa rasulullah dimana wahyu dan pembentukan hukumnya serta dasar-dasarnya yang mulai dari nabi bangkit (ba’ats, diangkatnya sebagai rasul). Hingga wafatnya beliau pada tahun 11-H (13-SH-11-H). hadits tidak boleh di resmikan terlebih dahulu. Para sahabat hanya boleh menghafal disetiap perkataan yang disampaikan nabi padanya dan menyampaikannya kembali kepada sahabat yang lain dan tabi’in sangatlah kuat dan juga takut akannya bercampurnya dengan ayat-ayat al-qur’an. Karena semakin maraknya pemalsuan hadits, sangatlah diperlukan penghimpunan hadits menjadi satu. Khalifah umar bin abdul aziz adalah kepala negara yang pertama kalinya menurunkan surat perintah secara resmi untuk penghimpunan hadits.
            Hanya beberapa sahabat saja yang menuliskannya dalam lembaran-lembaran, salah satunya adalah seperti Abdulloh Ibn Amr Ibn Ash yang berjudul “Ash-Shadiqah”[18]. Kemudian ia bertanya apakah boleh dia menulis hadits-hadits yang didengarnya, beliau menjawab          اُكٗتُبْعَنِّيْ،فَوَالَّذِيْنَفْسِيْبِيَدِهِ،مَاخَرَجَمِنْفَمِيْإِلَّاحَقّ
Tulislah!Demi zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripada-Nya, selan hak.”
Alasannya kenapa hadits tidak boleh di resmikan secara resmi seperti halnya yang ada pada di Al-Qur’an? karna dalam menulis dan membukukan suatu hadits berupa ucapan, amalan ittu hal yang sulit dan hanya beberapa sahabatlah yang mempunyai keahlian dalam menulis.
            Yah meskipun ada alasannya mengapa rasulullah ngelarang mereka buat menulis dan ngebukuin secara resmi itu juga demi kebaikan mereka yang pada ujungnya di baca dan di pahami apa isi artinya, tapi beliau loh ngebolehin menulis hadits bagi mereka yang menjamin hadits yang disampaikan nabi dan tidak bercampur dengan lafal Al-Qur’an. Asalkan penulisnya ga resmi seperti Al-Qur’an menulisnya untuk dirinya sendiri. Sahabat Nabi yang menulis hadits adalah[19]. Rasulullah memerintahkan tugas sebagai berikut[20].
·         Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a (7 SH-65 H)[21]
·         Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshary r.a (16 H-73H)[22]
·         Human bin Munabbih (40-131 H)[23]


Periode kedua adalah periode sahabat setelah rasulullah wafat para sahabat sedikit demi sedikit mulai menuliskan hadits dan nyampein apa kata yang di denger dan dilihat dahulu rasulullah dalam periwayatan hadits ini, galuput ama yang namanya penulisan hadits palsu. Mereka ngadaiin yang namanya penyelidikan riwayat untuk menangkal banyak hadits palsu yang mengatas namakan rasulullah[24]. Sabda nabi[25].
Periode ketiga masa perkembangan riwayat dan perlawanan dari kota ke kota untuk mencari hadits yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar. (41 H- akhir abad pertama hijriyah).
Golongan yang membuat hadits palsu atau disebut dengan hadits maudlu’[26]. dijelaskan Hasbi Ash Shiddiqi (1991) pada bukunya yang berjudul Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits[27] .
Melihat dari perkembangan hadits dari awal hingga sekarang, para sahabat melakukan banyak cara dalam memperoleh hadits Nabi. Dalam penjelasan Zainal Arifin dalam bukunya Studi Kitab Hadits [28]. Pada memerintahan Abu Bakar dan Umar, penyebaran hadits belum disebarluaskan, karena mereka tidak membenarkan dan memperbanyak riwayat dan juga mencegahnya riwayat. Abu Hurairah berkata[29].
Periode keempat hadits mulai dikumpulkan dan di bukukan  disebutkan khalifah-khalifahnya[30]. Beliau khawatir jika hadits trsebut lenyap bersamanya meninggalnya para penghafal hadits, beliau ingin memelihara hadits dari hadits maud;u’ yang kini mulai menyebar luasnya hadits maudlu. Kekhawatiran akan bahayanya bercampurnya dengan Al-Qur’an sudah hilang karna sudah terkumpulnya jadi satu mushaf. Para ulama hadits dalam membukukan hadits tidak menyaring terlebih dahulu sebab fatwa sahabat dan tabi’in ikut membukukan hadits. Di dalam kitab tersebut terdapat hadits yaitu[31]. Catatan ibnu hazm menghimpun hadits semata, selain itu Al-Imam Asy-Syafi’iy mencantumkan seluruh hadits dalam kitab bernama[32].
Periode kelima  mulai mengumpulkan hadits dengan memisahkan fatwa-fatwanya. Periode ini membukukan hadits shahih dalam sebuah kitab[33] oleh[34] terdapat kitab shahih 8.112 hadits 6.397 dari hadits asli, syarah yang tersebar[35] oleh[36]. Selain kitab shahih muncul juga kitab sunan[37].

Periode keenam hadits mulai diklarifikasikan dengan mengelompokan hadits-hadits yang sejenis atau bersifat isinya dalam kitab hadits. Lahirnya kitab-kitab hadits yang telah disusun oada priodee abad sebelumnya yaitu[38]. Penyusunan dengan adanya membagi kitab shahih dan sunan ada dalam beberapa bab. Berikut susunan yang menjadi 5 bagian yaitu[39]. Lalu muncullah sebuah kamus hadits berikut kamusnya yang diciptakan oleh ulama hadits[40].

Periode ketujuh merupakan periode yang terjadi pada abad 656 H hingga sekarang. Ada hal yang dilakukan pada masa tersebut yakni[41]. Serta menyusun pula kitab athraf dan lahirnya kitab sejarah hadits besar, seperti Futh al-Bari, Irsyad as-Sari dll.
     Munculnya juga beberapa kitab di masa ini yaknni pada abad ketujuh[42], Pada abad kedelapan hijriah[43], pada abad kesembilan[44], pada abad kesepuluh[45]. Kemudian munculnya para golongan-golongan yang memanfaatkan hadits palsu untuk mengunggulkan golongan-golongannya dari golongan lain. Pemalsuan hadits itu berkembang terus menerus hingga penjajah dari negara Barat yang ikut membawanya dengan tujuan untuk melumpuhkan kekuatan islam.

D. HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
           
يايها الذين امنوا اطيعو الله و رسولـه ولا تولوا عنه و انـتم تسمعون  (الأنفالـــــ : 20)                  
          “Wahai orang-orang yang beriman!!! Taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling darinya, padahal kamu mendengar (perintah-perintahNya).” Qs. Al-anfal : 20
                      Firman Allah lainnya yang berkaitan dengan kedudukan hadits sangatlah banyak sekali, salah satunya adalah
          وَ أَطِـيْـعُوْا الله وَ أَطِـيْــعُوا الــرَّسُـوْلَ وَاحْـذَرُوا       
“Dan taatlah kamu kepda Allah dan kepada Rasulnya dan berhati-hatilah” (Qs. Al-Maidah : 92)
Kemudian untuk ngejelasin lebih rincinya lagi tentang hadits, ada beberapa fungsi hadits yang disebutkan oleh beberapa ulama.Imam Malik bin Anas menyebutkan, fungsi hadits adalah[46]. Kemudian Imam Syafi’i meneyebutkan fungsi hadits[47], dalam ar-risalah ditambahkan Bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan empat fungsi yaitu[48]. Bayan at-taqrir[49]. Bayan an-Nasakh[50] berikut fungsinya
a.         Bayan At-Taqrir[51]
b.        Bayan At-Tafsir[52]
c.         Bayan At-Tasyri’[53]
d.        Bayan An-Nasakh[54] Menaskhkan isi Al-Quran surat al-baqarah ayat 180[55] :
Hadits adalah sumber hukum yang paling banyak cabangnya, lengkap undang-undangnya dan paling lebar lapangannya. Dalil Al-Hadits (HR Hakim)[56].
E.   Klasifikasi Hadits Dari Segi Kuantitas
            Banyak sekali perbedaan pendapat mengenai pembagian hadits berdasarkan segi kuantitasnya. Diantara mereka ada yang mengelompokan menjadi 3 macam yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang mengelompokan menjadi 2 yaitu hadits mutawatir dan ahad karena menurut mereka hadits masyhur itu tidak dapat berdiri sendiri, namun termasuk dalam hadits ahad[57].
Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradiri mustahil mereka bersepakat untuk berdusta[58]. Keberadaan hadits ini diragukan oleh beberapa ulama karena persyaratannya ketat sekali dimungkinkan hadits mutawatir tidak ada[59]. Untuk dapat digolongkan kedalam hadits mutawatir harus memenuhi syarat seperti Jumlah perawinya harus banyak Perawi yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad, Secara rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat untuk berdusta, Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadist. Pendapat lain bahwa hadits mutawatir ada tapi jumlahnya sedikit[60]. Beberapa karya hadits mutawatir antara lain[61] Berikut contoh hadits pada tiap-tiap bagian[62].

Hadits ahad merupakan hadits yang diriwayatkan beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadits mutawatir.
هو مالم يجمع شروط المتواتر
Artinya: “Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir”[63].
Hadits ahad dibagi pula menjadi Shahih, Hasan, dan Dlai’if, dengan tujuan untuk menentukan hadits tersebut diterima atau ditolaknya suatu hadits. Hadits ahad ini dibagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah perawi pada tiap tabaqahnya, yaitu Masyhur[64].
dijelaskan bahwa hadits shahih terbagi menjadi 2 bagian, yaitu hadits shahih li-dzatihi dan hadits shahih li-ghairihi[65].Perawi yang meriwayatkan hadits masyhur pada tiap thabaqahnya tidak harus selalu sama atau seimbang banyaknya. Misalnya hadits masyhur Bukhary-Muslim dari sahabat Ibnu ‘Umar r.a. pada tabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh Umar sendiri, pada tabaqah kedua diriwayatkan oleh ‘Alqamah, pada tabaqah ketiga diriwayatkan oleh Ibnu Ibrahim At-Taimy, pada tabawah keempat diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id, dan yang kemudian setelah itu diriwayatkan oleh orang banyak.
Mayoritas hadits dari Rasulullah dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah hadits ahad. Hadits ahad memerlukan penelitian yang lebih cermat apakah perawinya adil atau tidak, cacat atau tidak, dhabith atau tidak yang akan menentukan apakah hadits tersebut hadits shahih, hasan atau dhaif. Hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu[66].hadits aziz diriwayatkan oleh dua orang pada salah satu tabaqah saja dan pada tabaqah yang lain jumlah perawi lebih dari dua orang, hadits tersebut sudah dikatakan sebagai hadits aziz. Misal hadits Rasulallah saw yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu[67]. Kemudian pada periwayatan Hudzaifah tidak mendapat sambutan dari sekian banyak para tabi’iy[68].

Hadits Gharib dibagi menjadi 2, yaitu hadits gharib mutlaq yang sahabat menjadi refensi utama dalam periwayatan hadits sekalipun banyak tingkatan dan jalan. Dan yang kedua adalah hadits gharib nisbi yang terjadi secara relative atau dinisbatkan pada sesuatu tertentu atau tidak mutlaq. Tujuannya untuk menetapkan apakah perawi masih bisa diterima periwayatannya atau ditolak Dan yang terakhir dari pembagian hadits adalah Hadits Gharib.
مَا تَفَرَدَبِهِ رَاوَ وَاحِدٍ فِى أَيِّ طبقة من طبقات السّند
“Hadits yang bersendiri seorang perawi dimana saja tingkatan (thabaqot) dari pada beberapa tingktan sanad.” Berikut contoh hadits aziz dan hadits gharib:
Hadits pentakhrijkan Bukhary-Muslim dari sahabat Anas r.a[69], Hadits gharib mutlak yang hampir seluruh rawinya menyendiri[70], Hadits gharib nisby yang ditakhrijkan oleh Abu Dawud[71].Hadits Aziz berasal dari kata عَزَّ- يَعِزُّ  yang memiliki artian sedikit atau langka. Hadits ini diberi nama aziz karena sedikitnya atau langka adanya, atau kadang menjadi kuat ketika didatangkan sanad lain.
فَعَـزَّرْنَـا بِـثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّـا إِلَيْكُمْ مُـرْسَـلُوْنَ
“Kemudian kami perkuat dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan berkata: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu” (Qs. Yasin (36) : 14).



E.   KLASIFIKASI  HADITS DARI SEGI KUALITAS
                        Dalam menentukan tinggi rendahnya suatu hadits dapat dilihat dari 3 hal yaitu jumlah rawi, kualitas rawi, dan keadaan matan. Seperti hadits yang diriwayatkan 2 orang rawi lebih tinggi tingkatanya dan hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi tingkatannya itu lebih tinggi dari hadits yang diriwatakan oeh 2 orang. Sisi lain dalam pembagian hadits ahad adalah membaginya menjadi 3 yaitu hadits shahih, hadits hasan dan hadits dla’if. Sebelum menerima hadits ini diperlukan penyelidikan terhadap rawi, baik identitas ataupun yang lainnya. Tujuan penyelidikan ini adalah untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau tidak .
وَاخْتَارَ مُوْسَى قَوْمَهُ سَبْعِيْنَ رَجُلًا لِـمِيْقَـتِـنَا
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada watu yang telah kami tentukan.” (Qs. Al-a’raf : 155)[72]. Disini para ulama membagi hadits ahad menjadi tiga tingkatan, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. . Suatu hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi beberapa syarat antara lain, rawi adil[73], dlabit[74], sanad tidak terputus[75], hadits tidak berillat[76]. Hadits shahih dibagi menjadi 2 yaitu shahih li-dzatih[77] dan shahih li-ghairihi[78]. Suatu hadits dapat dikatakan hadits hasan[79], Hadits hasan terbagai menjadi 2 yaitu[80], Perbedaan hadits hasan dengan hadits shahih[81].




Berikut contoh dari hadits shahih li-dzatih dan shahih li-ghairih : Shahih li-dzatih[82], Shahih li-ghairih[83]. Hadits dlaif[84], Hadits dlaif dikelompokan menjadi 2 jurusan yaitu Dari jurusan sanad[85], Dari jurusan matan[86] Salah satu contoh hadits maudlu[87] ada juga mengenai pengertian Hadits hasan li-ghairihi ada beberapa pendapat, salah satunya adalah :
                             هو الضعيف إذا تعددت طرقه ولم يكن سبب ضعفه فسق الراوى أو كذبه
Adalah Hadits Dhaif yang apabila berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dusta perawinya.”
Hadits dlaif[88] Hadits Dhaif menurut Prof. DR. H. M. A. Tihami dalam bukunya menjelaskan pengertian dari hadits dhaif adalah[89].
Para muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yaitu yang pertama dari jurusan sanad terperinci lagi menjadi 2 bagian, yaitu cacatnya rawi dan gugurnya sanad[90]. Hadits dlaif yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah mungkin dapat dihitung jari, dan kemungkinan ada pula hadits dlaif yang benar-benar lemah dan tidak dapat diterima.

F.   MACAM-MACAM HADITS DLA’IF DARI SEGI SANADNYA
     
ما لـم يـبلغ مـرتبة درجـة الحسن
“Hadits yang tidak sampai  pada derajat hasan.”
Definisi untuk kata dha’if sendiri memiliki artian lemah. Sedangkan menurut para muhaditsin mengatakan  hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih dan hadits hasan. Ada juga yang berpendapat Pembagian hadits dlaif dari dari segi matan dibagi menjadi dua bagian, pertama bagian adanya cacat pada perawi baik keadilan maupun hafalannya, bagian kedua terputusnya sanad. Macam-macam hadits dlaif berdasarkan cacatnya rawi baik keadilan maupun hafalannya : Hadits Maudlu’[91].Hadits Matruk[92],Hadits Munkar dan Ma’ruf[93], Hadis muallaf67, Hadits Maqlub[94], Hadits Mudraj (saduran)[95], Hadits Mudltharrib[96], Hadits Muharraf[97], Hadits Mushahhaf[98], Hadits Mubham, Majhul dan Matsur[99], Hadits Syadz dan Mahfudh[100], Hadits Mukhtalith[101]. Macam-macam hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi sehingga putus sanadnya : Hadits Mu’allaq[102], Hadits Mursal[103], Hadits Mudallas[104], Hadits Munqathi’[105], Hadits Mu’dlal[106].hadits dhaif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits dhaif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullaah[107]. Jenis-jenis hadits dhaif dapat dibagi menjadi beberapa macam dengan mengaitkan kepada dua sebab pokok, yaitu : sebab-sebab ketidakmustahilan sanad dan sebab-sebab selain ketidakmustahilan sanad.
Pertama adalah sebab-sebab ketidakmustahilan sanad terbagi menjadi 5 hadits, yaitu Hadits Mursal, Hadits Munqothi’, Hadits Mu’dhal, Hadits Mudallas dan Hadits Mua’allal[108].
Kedua adalah sebab-sebab selain ketidakmustahilan sanad terbagi menjadi menjadi 6 hadits, yaitu Hadits Mudha’af, Hadits Mudhtharib, Hadits Maqlub, Hadits Syadz, Hadits Munkar, Hadits Mathruh[109].
Dari segi Sanadnya, suatu hadits menjadi dha’if karena sanadnya tidak bersambung-sambung, rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) dalam sanadnya seperti Gugur sanad pertama (guru mudawin), haditsnya disebut Hadits Mu’allaq.
Dari segi Matan, penisbatan matan tidak pada Rasulullah yang terdiri atas Penisbatan matan kepada sahabat disebut dengan hadits mauquf dan Penisbatan matan kepada tabi’in disebut dengan hadits maqthu’ Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat yaitu hadits tersebut tidak berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mau’izah, targhib wa tarhib (hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan masih banyak lainnya.
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawadhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan perawinya yang tidak terlalu parah. Sedangkan hadits mawadhu’ perawinya pendusta
Karena banyaknya pendapat ahli hadits yang bermacam-macam dan terkadang menimbulkan pertentangan, Dijelaskan pula untuk bab sebelumnya, bahwa nggak semua hadits Dla’if naik menjadi hasan dan akhirnya diterima periwayatannya. Disini dikuatkan lagi dengan penggolongan hadits dlaif berdasarkan sanadnya. Intinya hadits dlaif yang lemah periwayatannya dan tidak dikuatkan oleh faktornya tetap ditolaknya periwayatan.

G.   ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
o   Sebuah kata kerja yang berupa masdar yang memiliki artian mengaibkan atau menolak[110]. Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatannya[111]. A-jarh menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya dan lainnya yang menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan ditolaknya suatu hadits. Sedangkan Al-ta’dil menurut bahasa memiliki arti menyamakan. Dan pengertian menurut hadits yaitu suatu sifat rawi dari segi diterima dan nmpak keadilannya. Sedangkan menurut Tengku Hasbi As Shiddiqi menjelaskan yaitu mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerima riwayat. Tujuan mempelajari ilmu ini selain mengetahui ada tidaknya cacat perawi, kita juga bertujuan menjaga sunnahnya. Allah berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 6[112]. Ada tiga pembagian pengkritik hadits yaitu Mustasyadid (kelompok yang sangat ketat)[113], Mu’tadil(kelompok yang moderat)[114] dan Mutasahil (kelompok yang bersikap longgar)[115] . Tingkatan pada jarh wa ta’dil sebagai berikut : Tingkatan pertama[116], Tingkatan kedua[117], Tingkatan ketiga[118], Tingkatan keempat[119], Tingkatan kelima[120] Tingkatan keenam[121]. pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan, jika suatu hadits terdapat kecacatan pada perawi misalnya fasik, kafir dan anak-anak dapat diterima periwayatannya ketika sudah dewasa meski dia menerima riwayatnya sejak kecil atau belum bertaubat

H.     TAHAMMUL WA ADDA’
          Tahammul yang menurut bahasa berarti menanggung atau membawa atau juga bisa diartikan dengan menerima. Menurut para ulama sendiri at-tahammul  mengambil atau menerima hadits seorang guru dengan alah satu cara tertentu.
Sedangkan al ‘ada secara etimologi berati sampai atau melaksanakan. Dan secara terminologi merupakan sebuah proses mengajarkan atau meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada muridny Adda’ menurut bahasa adalah penyampaian hadits kepada orang lain. Syarat-syarat seseorang dalam menyampaikan hadits yaitu islam, baligh, dhabit, sanad bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil, tidak bertentangan dengan hadits lain dan Al-Quran  Dalam meriwayatkan suatu hadits ada dua kegiatan yaitu penerimaan hadits dan kegiatan penyampaian hadits. Ilmu tahammul wa adda’[122]. Ada delapan metode dalam penerimaan hadits, yaitu : As-Sima’[123],Al-Qira’ah[124] Perbedaan pendapat tentang kedudukan al-qira’ah yaitu lebih tinggi daripada as-sima’[125], kedudukan dua-duanya sama[126], as-sima lebih tinggi dari pada al-qira’ah[127], Al-Ijazah[128], Al-Munawalah[129], Al-munawalah mempunyai 2 tipe[130], Al-Mukatabah[131] Sama halnya al-munawalah, al-mukatabah dibagi menjadi 2 tipe[132], Al-Ilam[133],Al-Wasiyah[134], Al-Wajadah[135].
I.      INGKAR SUNNAH
Kata “ingkar sunnah” yang berasal dari bahasa arab yang berarti diantaranya tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu. Secara terminologi dapat diartikan menolak, tidak menerima, tidak mengakui baik lahir maupun batin atau lisan dan hati yang dilatarbelakangi atau faktor lain. Ingkar sunnah[136] dibagi oleh Imam menjadi 3 golongan[137].
·         Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan, Kelompok yang berada di golongan ini adalah golongan Zindiq dan golongan Khawarij.[138] Disisi lain golongan Mu’tazilah yang menolak sunnah secara keseluruhan.[139] Semua golongan tersebut yang dimaksud dalam kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i. [140]
·         Golongan yang menolak sunnah selain yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran Golongan ini menolak sunnah dengan alasan bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama dan sifatnya universal bagi syariat islam[141].
Terdapat dua hal yang menjadi argumen besar para pengingkar sunnah sebagai alasan dan landasan yang digunakan. Argumen-argumen naqli dan argumen-argumen non-naqli. Yang dimaksud dengan argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat a-quran saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat Al-An’am ayat 38
مَا فَرَطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“....... Tiadalah kami alphakan sesuatu didalam alkitab”.
Golongan yang menolak sunnah ahad dan menerima yang mutawatir Golongan ini menolak sunnah dengan alasan,bahwa hadits ahad hanya sampai ke dhanni saja, Kelompok yang menolak sunnah ini adalah golongan Qadariyah, Rafidhah dan Mudzhab Dhahiri[142] Kehadiran hadits palsu sudah tidak begitu marak, mungkin dikarenakan menurunnya jumlah periwayat hadits dan hanya menerima segala aturan –aturan secara instan tanpa harus bersusah payah terlebih dahulu, misalnya aturan dan jumlah dalam berzakat yang dijelaskan dalam al-quran dan diterangkan secara rinci dalam hadits. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa mereka telah menerima sunnah sebagai sumber hukum islam kedua.

J.     PENUTUP
                        Hadits adalah ketetapan, ucapan, perbuatan ataupun sifat Nabi untuk umat islam yang berfungsi sebagai hukum islam yang kedua setelah al-quran. Hadits yang pada awalnya mengalami larangan dalam penulisan dan pembukuan dan setelah itu mengalami banyak perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa periode. Hadits memiliki peranan yang sangat penting bagi al-qur’an. Yaitu sebagai penjelas, penguat, dan penambah hukum yang kurang atau tidak ada dalam al-qur’an. Hadits sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-Quran. Sudah diketahui bahwa Al-quran adalah wahyu yang bersifat global, dan fungsi hadits untuk menjelaskannya secara terperinci serta memiliki beberapa fungsi.Hadits dilihat dari segi sedikit atau banyaknya rawi, terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Jumlah periwayat hadits adalah poin utama untuk melihat suatu hadits. Hadits ahad dibagi menjadi 3 yaitu hadits shahih, hadits hasan dan hadits dla’if. Sebelum menerima diperlukan penyelidikan terhadap rawi, baik identitas ataupun yang lainnya.Pembagian hadits dlaif dari dari segi matan dibagi menjadi dua bagian, pertama bagian adanya cacat pada perawi baik keadilan maupun hafalannya, bagian kedua terputusnya sanad. Dalam pembagian bagian tersebut ada beberapa macam hadits dlaif. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini membahas tentang keadaan rawi apakah ada aib yang dimilikinya atau adil pada dirinya. Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatannya. Kita sebagai umat islam pengikut Nabi Muhammad, sudah selayaknya wajib mempelajari, menerapkan dan mengamalkan kepada yang lainnya. Sudah dijelaskan di atas bahwa mengimani hadits adalah suatu kewajiban yang sama seperti mengimani al-quran sebagai sumber hukum setelahnya. Mengimani hadits dan menjalankannya akan menjamin kita berada pada jalan yang telah di tunjukan oleh Rasulullah.




[1] Mengambil atau menerima hadits dari seseorang guru dengan salah satu cara tertentu.
[2] لتحمل معناة تلقئ الحديث واحدعنالشيخ   tahamul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
[3] اخذالحديث ويلقية عن الشيخ بطريق من ظرق التحمل mengambil dan menerima hadits dari seorang syekh dengan cara tertentu dari beberapa cara penerimaan.
[4] Kebiasaan yang mengacu kepada kebiasaan ketentuan illahi dalam mengatur makhluk allah serta menghukum para pendusta.
[5] Sesuatu yang di sandarkan kepada nabi muhammad saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya.
[6] Pertama khabar sinonim, kedua khabar berbeda dengan hadits, ketiga khabar lebih umum dari hadits.
[7] Akhbary
[8] Menurut Az-Zarkasyi
[9] Atsary
[10] Atsar ialah merupakan istilah yang mencangkup segala berita dan perilaku para sahabat, tabi’in dan selainnya.
[11] khabar-mutawatir untuk hadits-mutawatir, Haditsu’n-nabawy untuk Sunnatu’n-nabawy
[12] Rawi adalah orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadits dalam suatu kitab yang telah diterima dari seorang guru. Sanad adalah jalan yang menghubungkan matmul hadits kepada Nabi. Sedangkan matan adalah perkataan yang disebutkan pada akhir sanad sesudah hadits.
[13] Sanad adalah orang-orang yang menyampaikan materi suatu hadits.
[14] Matan adalah berita atau pembicaraan yang disampaikan oleh sanad terakhir.
[15] Isnad adalah kegiatan orang yang menyandarkan suatu hadits.
[16] Musnid adalah Sebutan sebagai orang yang menyandarkan
[17] Musnad adalah sesuatu yang disandarkan.
[18] Salah satu sahabat nabi yang menulis hadits dalam bentuk lembaran-lembaran(Shahifah).
[19] Abu Hurairah r.a
[20] يَارَسُولَاللهِ،اُكْتُبُوالِى،فَقَالَ : اُكْتُبُوالَهُ  Ya Rasulullah! Tulislah untukku! “Jawab Rasul: “Tulislah oleh kau sekalian untuknya!”
[21] Dalam menulis hadits nabi dia itu mendapat beberapa teguran dari orang Quraisy. Disisi lain dia itu diketahui seorang penulis yang baik, dan karena itulah Rasulullah ngiziniin dia nulisin hadits beliau, dengan naskahnya “Ash-Shahifah Ash-Shadiqah” berisi 1000 hadits.
[22] Salah satu sahabat nabi ini yang nulisin hadits nabi dan ngenamain naskahnya “Shahifah Jabir”. Naskah Jabir ini ngedapetiin pujian dari Qatadah bin Da’amah As-Sudusy, katanya : “Sungguh Shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah.”
[23] Beliau ini adalah seorang tabi’iy yang alim dan mengutip hadits Rasulullah saw. Hadits tersebut dikumpulin dalam satu naskah yang dinamai “Ash-Shahifah ash-Shahihah” dengan hadits sebanyak 138 hadits
[24] Rodliyana, Muhammad Dede. Perkembangan pemikiran ulum-al-hadits dari klasik sampai modern. Bandung:CV Pustaka Setia.2004
[25] كَفْىبِالْمَرْءِإِشْماأَنْيُحَدَّثَبِكُلِّمَاسَمِعَ
 “cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala apa yang didengarnya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

[26] Hadis maudlu’ adalah hadis palsu atau juga bisa dibilang ucapan atau buah pikir seseorang yang mengatasnamakan Rasulullah.
[27] : menjelaskan urutan masa pertumbuhan hadits. Masa pertama : masa wahyu dari pembentukan huku serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit hingga beliau wafat pada tahun 11 H. (dari 13 SH-11 H)
Masa kedua : masa membatasi riwayat, masa khulafaur rasyidin. (12 H- 40 H)
Masa ketiga : masa perkembangan riwayat dan perlawanan dari kota ke kota untuk mencari hadits yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar. (41 H- akhir abad pertama hijriyah)
Masa keempat : masa pembukuan hadits (dari permulaan abad kedua hijriyah hingga akhir)
Masa kelima : masa mentakhsihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ketiga hingga akhir)
Masa keenam : masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya baghdad pada tahun 656 H)
Masa ketujuh : masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits Zawa-id (656 H hingga dewasa ini).
[28] menjelaskan bahwa para sahabat menempuh cara seperti Mengikuti majelis-majelis Nabi. Majelis-majelis yang diasuh Nabi merupakan majelis ilmu yang memberikan manfaat yang besar bagi umat islam
[29] Sekitarnya saya memperbanyak tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambukannya. Jami’ Ahkam Al-Bayan II : 121.
[30] Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah dari Bani ‘Umaiyah.
[31] Hadits marfu’, mauquf dan maqthu.
[32] Al-Umm kitabnya “Musnadu’sy-Syafi’iy”.
[33] kitab “Shahihu’l-Bukhary atau Al-Jami’u’sh-Shahih”
[34] Muhammad bin Ismail Al-Bukhary.
[35] “fathu’I-Bary”
[36] Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy (204-261H).
[37] Sejarah perawi hadits dengan ini dapat mengetahui tingkat kebenaran,kepercayaan,nilai hafalannya.
[38] Sunanu’l-Kubra karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384 – 458 H), Muntaqa’l-Akhbar karya Majdudin Al-Harrany (wafat pada tahun 652 H),
[39] Suruhan,larangan,khabar,ibadat,pekerjaan.
[40] Kitab Al-Jami’ush-Shaghir fi ahaditsi’I-basyiri’n-nadzir. Karya imam jalau’ddin As-Suyuthi (849-911 H). Dakha-iru’l-Mawarits fi’d-Dalalati ‘ala mawadli’i’l-ahadits karya Al’Allamah As-Sayyid Abdul-Ghani Al-Maqdisy An-Nabulisy
[41] Menerbitkan isi kitab hadits, menyusun dan menyaring kitab takhrij, membuat kitab jami’ umum dan kitab hadits tentang hukum.
[42] Al-Jami’ baina ash-Shahihan susunan Ahmad ibn Muhammad al-Qurhuby (Ibnu Hajjah) pada tahun 642 H, Riyadh ash-Shalihin oleh Imam an-Nawawy
[43] Al-Jami’ al-Masanid was sunan al-Hadt ila Aqwami Sanan disusun Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-‘Ilma fi Ahadits al-Ahkam disusun Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied
[44] Ith-haf al-Khiyarbi Zaqa’id al-Masanid al-‘Asyrahdisusun Muhammad ibn Abu Bakar al-Baghawy, Bulugh al-Maram disusun Al-hafizh Al-Asqalany, Majma’ az-Zawaid wa mamba’ al-Fawa’id disusun Al-Hafizh Abu al-Hasan Ali ibn Abi Bakr Ibn Sulaiman asy-Syafi’y al-Haitamy
[45] Jam’u al-Jawami’ disusun Al-Hafizh As-Sayuthy Al-Jami’ ash-Shaghir min Ahadits al-Basyir an-Nadzir disusun As-Sayuthy. Hingga tokoh pada masa ini adalah, Az-Zahaby (748 H), As-Sayuthy (911 H), Al-Mizzy (742 H), Ibnu Rajab (795 H), Al-Bulqany (805 H).

[46] Bayan at-taqrir, Bayan at-tafsir, Bayan at-tafsil, Bayan at-bast, Bayan at-tasyri’
[47] sebagai Bayan at-tafsil, Bayan at-takhsis, Bayan at-ta’yin, Bayan at-tasyri’, Bayan an-nasakh
[48] Bayan at-ta’kid, Bayan at-tafsir, Bayan at-tasyri’, Bayan at-takhsis.
[49] memperkokoh isi kandungan dalam Al-Quran. Bayan at-tafsir, menjelaskan secara rinci dan memberi tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat global, memberi batasan atas ayat-ayat yang bersifat mutlak atau khusus dan mengkhususkan ayat yang bersifat umum.
[50] sebagai ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan yang dulu, karena yang datang terakhir dianggap sebagai penyempurna

[51]إِذَارَأَيْتُمُوْهُفَصُوْمُوْاوَإِذَارَأَيْتُمُوْهُفَاَفْطِرُوْاApabila kalian melihat (ru’yah) bulan , maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR Muslim) Mentaqrirkan ayat al-quran surah al-baqarah ayat 185 :
فَمَنْثَهِدَمِنْكُمُالشَّهْرفَلْيَصُم  …maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,hendaklah ia berpuasa..” Bayan taqrir merupakan fungsi hadits yang bertujuan untuk memperkuat isi yang terdapat didalam al-qur’an
[52] صَلُّوْاكَمَارَأَيْتُمُوْىٰىِأُصَلِّىْ
Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat.” (HR Buhkari dan Muslim)
Menerangkan surah al-baqarah ayat 43 :
وَأَقِيْمُوْاالصَّلٰوةَوَأٰتُوْاالزَّكٰوةَوَارْكَعُوْامَعَالرَّاكِعِيْن
Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Bayan tafsir juga berfungsi memberikan batasan terhadap ayat al-quran yang masih umum. Rudy Al-Hana,dkk, 2013, Studi Hadits, ( Tim Reviewer UIN Sunan Ampel Press), hlm. 53-54 : menjelaskan contoh dari bayan taqrir pada surat al-baqarah ayat 185  “Karena yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa.”
Ayat diatas ditaqrirkan dengan hadits yng dikeluarkan oleh Muslim dari Ibn Umar yang berbunyi :
“Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah, begitupula jika melihat bulan itu maka berbukalah…..” (HR. Muslim)
Dan contoh dari bayan tafsir ““Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadits diatas menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Dan salah satu ayat yang memerintahkan untuk shalat adalah “Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama-sama orang yang rukuk.” (Qs. Al-Baqarah : 43)
اِنَّرَسُوْلَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَرَضَزَكَاةَالْفِطْرِمِنْرَمَضَانَعَلَىالنَّاسِصَاعًامِنْتَمَرٍأَوْصَاعًامِنْشَعِيْرِعَلَىكُلِّحُرٍّاَوْعَبْدٍذَكَرٍأَوْأُنْشْىمِنَاْلمُسْلِمِيْنَ33
Rasulullah telah mewahibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim.” (HR Muslim
[54] لَاوَصِيَّةَلِوَارِث tidak ada wasiat bagi ahli waris”
[55] كُتِبَعَلَيْكُمْإِذَاحَضَرَأَحَدَكُمُاْلمَوْتُإِنْتَرَكَخَيْرًالْوَصِيَّةُلِلْوَلِدَيْنِوَالأَقْرَبِيْنَبِالْمَعْرُوْفِحَقًّاعَلَىاْلمُتَّقِيْنَ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ,a’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”
[56] Meskipun sudah banyak penjelasan tentang hadits sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-Quran, telah dipaparkan beberapa dalil yang memperkuatnya tapi masih saja ada golongan yang tidak menyetujui bahkan menolak adanya hadits. Jika alasan mereka dalam menolak hadits adalah Al-Quran, Al-Qur’an telah mencangkup segalanya, maka perlu dibuktikan dengan contoh perbuatan yang pelaksanaan berdasarkan Al-Quran dengan mengikuti cara-cara dalam hadits atau sunnah. Dengan begitu, perbuatan yang sifatnya umum akan dijelaskan secara rinci. Misal perintah sholat dalam al-quran, di dalam hadits diterangkan cara-cara sholat dengan benar, ketika sujud atau ruku’

[57] Pendapat Naruddin hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar pada panca indra. Sedangkan hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits mutawatir
[58] Dr. Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 31-32
[59] Ulama Ibnu Hibban dan Al-hazimy.
تَرَكْتُفِيْكُمْأَمْرَيْنِلَنْتَضِلُّوْاأَبَدًامَاإِنْتَمَسَّكْتُمْبِهِمَاكِتَابَاللهِوَسُنَّةَرَسُوْلِهِ
aku tinggalkan dua pusakaku untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”.
[60] Ulama Ibnu sh-Shalah
[61] Al-Azhaar al-Mutanaatsirah fii Al-Akhbar al-Mutawatirah dan Qathf al-Azhaar karya al-Imam jalaluddin Abuu al-Fadhl ‘Abdur Rahman as-Suyutii, Nadzam al-Mutanaatsirah min al-hadis al-Mutawatirah karya Muhammad Abdullah bin Ja’far al-Kattanii.
[62]Contoh hadits mutawatir lafdhy قَالَرَسُوْلُاللهِصَلْعٓمْ: (مَنْكَذَبَعَلَىَّمُتَعَمِّدًافَلْيْتَبَوَّأْمَقْعَدَةُمِنَالنَّار
dirinya sendiri) dan pada tiap sanadnya.Konon Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat istisqa’. Dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawy مَارَفَعَصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَدَيْهِحَتّٰىرُؤِىَبَيَاضُاِبْطَيْهِفِىثَيْءٍمِنْدُعَاعِهِاِلَّافِىاْلاِسْتِسْقَاءِ
dirinya sendiri) dan pada tiap sanadnya.Konon Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat istisqa’. Dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya”.

[63] Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits,  (Malang : UIN Press, 2007, hlm. 36           
[64] Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir. Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, meskipun hanya pada tabaqah pertama saja. Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan seseorang dengan menyendiri.
[65] Menurut Fatchur Rahman, (1987)
[66] hadits masyhur, hadits aziz, hadits gharib.
[67] Hudzaifah Ibnu’l-Yaman dan Abu Hurairah r.a. Kemudian dari Abu Hurairah r.a diriwayatkan oleh 7 orang tabi’iy yaitu Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman, Abu Hazim, Thawus, Al-A’raj, Humam, Abu Shalih dan Abdu’r-Rahman
[68] Alfiyatu’s-Suyuthy, Syarah Ahmad Muhammad Syakir, halaman: 50.

[69] لَايُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىاَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْنَفْسِهِوَوَالِدِهِوَوَلَدَهِوَالنَّاسِأَجْمَعِيْنَ
Rasulullah saw bersabda : tidaklah sempurna iman salah seorang daripadamu, sehingga aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya.”
[70] قَالَالنَّبِىُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ : اَلْاءِيْمَانُبِضْعٌوَسَبْعُوْنَشُعْبَةً.ُ وَالَحَيَاُءشُعْبَةٌمِنَاْلاءِيْمَانِ
Nabi Muhammad saw. Bersabda : Iman itu (bercabang-cabang menjadi) 73 cabang. Malu itu salah satu cabang dari iman”
[71] أَمَرَنَارَسُوْلُاللهِصَلْعَمْاَنْنَقْرَأَبِفَاتَحِةِالكِتَابِوَمَاتَيَسْرَمِنْه
[72] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-quran dan Al-hadits, hlm. 277
[73] adalah berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara’, baik terhadap perintah-perintah yang harus dilakukan maupun larangan yang harus ditinggalkan, keadilannya diridlai oleh Allah – Menurut Al-Irsyad.
[74] kesempuranaan ingatan suatu perawi
[75] Sanadnya bersambung tiap perawi dapat bertemu dengan guru dan muridnya
[76] hadits tersebut jauh dari perkara yang dapat menodai haditsnya
[77] Shahih li-dzatih adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih
[78] Shahih li-ghairih yaitu hadits hasan li-dzatih yang naik derajatnya menjadi hadits shahih li-ghairih.
[79] hadits yang dinukilkan oleh perawi adil tapi tak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya dan tidak terdapat illat serja kejanggalan terhadap matannya
[80] hadits hasan li-dzatih dan hadits hasan li-ghairih. hadits hasan li-dzatih juga mempunyai arti yang sama, yaitu hadits hasan yang memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Sedangkan hadits hasan li-ghairih adalah hadits dlaif yang  karena rawinya burukn hafalannya, tidak dikenal identitasnya (matsur) dan mempunyai cacat (mudallis) dibantu dengan hadits lain yang semisal dan semakna atau banyak yang meriwayatkanya, dapat naik menjadi hadits hasan li-ghairih.
[81] terletak pada syarat kedlabitan rawi.Pada hadits hasan kedlabitan rawi lebih rendah daripada hadits shahih
[82] Hadits Bukhary yang bersanadkan Isma’il, Malik, Tsaur bin Zaid, Abi’l-Ghais dan Abu Hurairah r.a
قَالَالنَّبِىُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ : رَالسَّاعِىْعَلَىاْلأَرْمَلَةِوَاْلمِسْكِيْنِكَاْلمُجَاهِدِفِىسَبِيْلِاللهِ،أَوْكَالَّذِىيُصُوْمُالنَّهَارَوَيَقُوْمُالَّليْلَ  “Orang yang memelihara janda dan orang miskin itu, bagaikan pejuang sabilillah atau bagaikan orang yang berpuasa di siang hari dan bertahajud di malam hari.”
[83] Hadits Bukhary dari Ubay bin Al-Abbas bin Sahal dari ayahnya (‘Abbas) dari neneknya (Sahal)
كَانَلِلنَّبِىِّصَلَىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفِىحَائِطِنَافَرَسٌيُقَالُلَهُالُّلحَيْفُKonon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh di kandang kami yang diberi nama Al-Luhaif”
[84] Hadits dlaif merupakan hadits yang hanya memenuhi sedikit dari syarat-syarat hadits shahih maupun hadits hasan, Hadis dla’if disebut juga dengan hadits yang lemah .
[85] yaitu cacatnya 1 rawi tentang keadilan ataupun hafalannya 2 sanadnya terputus karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lainnya.
[86] dibagi menjadi hadits mauquf dan hadits maqthu’.
[87] Periwayatan rawi yang berdusta
[88] hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih ataupun hasan, baik karena kecacatan pada sanad maupun matannya
[89]ما فقد شرطا أو اكثر من شروط الصحيح أو الحسن“ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.”


[90] Fatchur Rahman, 1987, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, hlm. 167-168 : Adanya cacat pada rawi dan kedhabithn ada 10 macam, yaitu : Dusta, haditsnya disebut hadits mudlu’, Tertuduh dusta, haditsnya disebut hadits matruk, Fasik, Banyak salah, Lengah dalam menghafal, hadits dha’if karena fasik, banyak salah, dan lengah dalam menghafal haditsnya disebut hadits munkar, Banyak waham (purbasangka), hadits karena sebab berikut disebut dengan hadits mu’allad, Menyalahi riwayat orang kepercayaan, Tidak diketahui identitasnya (jalalah) disebut dengan hadits mubham, Penganut bid’ah disebut dengan hadits mardud, Tidak baik hafalannya disebut dengan syadz dan mukhtalits. Dari sanadnya yang digugurkan (tak bersambung) berdasarkan jumlah anad yang gugur ada beberapa pembagian yaitu : Kalau yang digugurkan itu sanad pertamanya, maka haditsnya disebut dengan hadits mu’allaq. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat) disebut dengan hadits mursal. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut dengan hadits mu’dlal. Jika tidak berturut-turut, disebut dengan hadits munqothi’
[91]Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang berdusta, meskipun itu hanya dilakukan sekali seumur hidupnya.
[92] hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh berdusta
[93]Hadits munkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak kesalahan, kelengahan dan jelas kefasikannya.Hadits Ma’ruf yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang melawan riwayat orang lemah.
[94] hadits yang menyalahi hadits lain dengan memutarbalikkan yang seharusnya didahulukan dari yang diakhirkan
[95] hadits yang diriwayatkan seorang rawi dengan memberi saduran atau tambahan dalam redaksinya
[96]Yaitu hadits yang diriwayatkan seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda sehingga tidak dapat dikumpulkan dan ditarjihkan serta diunggulkan salah satunya.
[97] menyalahi hadits lain dikarenakan kesalahan harokat (tanda hidup) dan sakanat (tanda mati) pada suatu kata tapi tulisan masih tetap
[98] Yaitu hadits yang menyalahi hadits lain karena perubahan titik kata, tapi bentuk tulisannya tidak berubah
[99]Hadits mubham adalah hadits yang diriwayatkan seorang rawi yang dalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan identitasnya.Hadits majhul adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dijelaskan dengan jelas identitasnya. Hadits matsur adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terkenal keadilannya dan kedlabithannya dan diriwayatkan oleh orang tsiqah tapi penilaian tersebut belum mencapai kesepakatan
[100]Hadits syadz yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah tetapi menyalahi riwayat orang yang lebih rajih daripadanya. Hadits mahfudh adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
[101]Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lanjut usia, tertimpa bahaya, atau hilang kitabnya sehingga hafalannya buruk karenanya.
[102] Yaitu hadits yang gugur rawinya mulai dari sanad yang pertama atau hingga yang terakhir secara berututan. Keguguran sanad bisa terjadi hanya pada awal sanad, seluruh sanad, seluruh sanad kecuali sahabat.
[103] Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi’iy maupun sahabat kecil dengan menggugurkan nama sahabat, sehingga tidak diketahui hadits tersebut berasal dari sahabat mana ia memperolehnya.
[104] Yaitu hadits yang menggugurkan rawinya dengan tujuan untuk menutupi kelemahan hadits tersebut agar dianggap hadits tersebut tidak bernoda, sedangkan orang yang menggugurkan rawi tersebut pernah saling bertemu.
[105] Yaitu hadits yang gugur rawinya. Hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
[106] Yaitu hadits yang gugur 2 orang rawinya secara berurutan, baik sahabat dengan tabi’iy, tabi’iy dengan tabi’it-tabi’in atau pun yang lainnya secara berurutan.
[107] Nur Kholis, M.Ag, Pengantar Studi Al-Quran dan Hadits, hlm. 281
[108] DR. Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al-Hadits, hlm. 304 : Hadits mursal menurut ulama’ fiqh dan ushul adalah hadits yang perawinya melepaskan tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya. Hadits Munqothi’ adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalau hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sedangkan dalam hadits ini tidak ada batasan. Hadits Mu’dhal yaitu hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah hadits yang dimursalkan oleh tabi; at-tabi’iy. Hadits ini sama, bahkan lebih rendahndari hadits munqothi’. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila kemunqothi’annya lebih dari satu tempat. Hadits Mudallas adalah hadits yang menyembunyikan  sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian ta’dil pada jual beli, yaitu menyembunyikan aib dalam jual beli atau dalam hal segala sesuatu. Hadits Mua’allal yaitu hadits yang tersingkap didalamnya illah qodihah yang kadang-kadang pada sanad dan matan sekaligus, meski lahiriyahnya tampak terbebas darinya
[109] Ibid, hlm. 305-309 : Hadits Mudha’af  yaitu hadits yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matanya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Hadits Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya, atas sebagian yang lain, baik perawinya atu atau lebih. Hadits Mudha’af yaitu hadits yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matanya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Hadits Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya, atas sebagian yang lain, baik perawinya atu atau lebih. Hadits Maqlub yaitu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atausuatu sanad untuk matan lain. Hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqot meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Dan apabila di antara sekian perawi tsiqot ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengn perawi-perawi lain yang tsiqot. Oleh karena itu, kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dhaif dan mukhalafah. Hadits Mathruh menurut salah satu ulama, hadits mathruh adalah hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits

[110] DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, 2007, Ushul Al-Hadits, hlm. 233 : “al-jarh secara etimologis merupakan bentuk masdar, dari kata جرح – يجرحه  yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandi dengan mengalirnya darah dari luka itu.
[111] Penafsiran dari Dr. ‘Ajjaj Al-Khathib
[112] يَأَيُّهَاالَّذِيْنَءامَنُوْاإِنْجَآءَكُمْفَاسِقُبِنَبَإٍفَتَبَيَّنُوْاأَنْتُصِيْبُوْاقَوْمًابِجَهَلَةٍفَتُصْبِحُوْاعَلَىٰمَافَعَلْتُمْنَدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
[113] Kelompok Mustasyadid adalah al-Jaujazani, abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hatim, an-Nasa’I, Syu’bah, Ibn al-Qattan, Ibn Ma’in, Ibn al-Madini dan Yahya al-Qaththan
[114] Kelompok mu’tadiladalah al-Bukhari, ad-Daruqutni, Ahmad, abu Zae’ah, Ibn ‘Adi, az-Zahabi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani
[115] Kelompok Mutasahil adalah Tarmizi, al-Hakim, Ibn Hibban, al-Bazzar, asy-Syafi’I, ath-Thabrani, Abu Bakar al-Haitsami, al-Munziri, Ibn Khuzaimah, ibn as-Sakkan dan al-Baghawi.
[116] : pada jarh, ini merupakan kelemahan dengan tingkatan paling rendah (misal lemah haditsnya, ada dusta pada dirinya), pada ta’dil ini merupakan tingkatan paling tepat dalam periwayatan.
[117] : pada jarh, kelemahan perawi dan tidak bisa digunakan hujjah (tidak diketahui identitas, hadits dlaif). Pada ta’dil, menyebutkan sifat kekuatan, ketsiqahan , keadilan, ketepatan dalam meriwayatkan baik lafadz atau makna.
[118] pada jarh, lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya (dlaif sekali). Pada ta’dil, menunjukan ketsiqahan tanpa menunjukan penguatan.
[119] pada jarh, penuduhan dusta atau pemalsuan hadits (dituduh dusta). Pada ta’dil, menunjukan keadilan dan kepercayaan tanpa isyarat kekuatan hafalan dan ketelitian.
[120] pada jarh, menunjukan sifat dusta atau pemalsu (tukang dusta). Pada ta’dil tidak menunjukan adanya pentsiqahan dan celaan.
[121] pada jarh, menunjukan adanya dusta yang berlebihan dan ini merupakan seburuk-buruknya tingkatan (orang paling pembohong). Pada ta’dil, menunjukan mendekati celaan (haditsnya lumayan).
[122] Penjelasan tentang cara mendapat dan mnerima suatu hadits dari syaikh dan cara menyampaikan hadits tersebut dengan sighat (lambang) tertentu
[123]Metode ini melalui cara mendengarkan langsung atau didektekan oleh gurunya, baik dari hafalan dan tulisannya.
[124]Metode ini melalui membaca tulisan atau hafalan hadits seorang murid dari hadits atau tulisan gurunya.
[125]Pendapat Abu Hanifah, Ibn Abi Dzib.
[126]Pendapat Ulama Hijaz, Ulama Kufah, Imam Malik, Bukhari.
[127]Ibnu Ash-Shalah, Imam dan ulama lain.
[128]Perizinan yang diberikan guru kepada muridnya untuk meriwayatkan haditsnya riwayatnya.
[129]Sang guru memberikan kitab atau tulisan hasil periwayatan haditsnya kepada sang murid yang kemudian diperintahnya sang murid untuk meriwayatkannya.
[130] yaitu memberikan kitab dengan dibarengi ijazah untuk meriwayatkan kembali berdasar kitab atau tulisannya tersebut, yang kedua yaitu tanpa dibarengi dengan ijazah untuk meriwayatkan (hal ini dianggap tidak sah).
[131]Sang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis hadits yang kemudian diberikan kepada orang yang tidak hadir atau yang hadir.
[132] yaitu pertama dibarengi dengan ijazah untuk meriwayatkannya (dianggap sah) dan tidak dibarengi dengan ijazah (diperselisihkan).
[133]Sang guru memberitahu muridnya bahwa hadits yang diriwayatkan asli periwayatannya sendiri tapi tanpa menyuruh muridnya untuk meriwayatkannya.
[134]Sang guru meninggalkan pesan kepada muridnya sebelum bepergian atau meninggal dunia untuk meriwayatkan haditsnya. Metode ini mempunyai perbedaan pendapat antara Ibnu Sirin yang membolehkan mengamalkan metode ini dan ulama jumhur yang melarangnya bila sang murid tidak mempunyai ijazah dari pewasiat.
[135] Seseorang menemukan hadits orang lain yang dianggap shahih tanpa melalui metode as-sima’, al-ijazah atau al-munawalah. Pendapat para ulama, Imam Syafi’i dan pengikutnya memperbolehkan, para Muhadditsin dan ulama Malikiyah melarangnya, Muhaqqiqin mewajibkan jika diyakini atas kebenarannya.

[136] Golongan orang muslim yang ragu akan kehujjahan suatu hadits dan menolak mengakui sebagai sumber hukum islam yang kedua.
[137] yaitu golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan, golongan yang menolak sunnah selain yang sesuai dengan petunjuk al-Quran, golongan yang menolak sunnah yang ahad dan hanya menerima sunnah yang mutawatir.

[138]Abu Zahrah dalam kitab al-Syari’.
[139]Menurut Al-Khudhari Bek (guru sejarah hukum islam di Egyptian University).
[140]Masfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya : Bina Ilmu. 1993. Halaman 34-35.
[141]Ibid, 36.
[142]Menurut al-Syafi’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar