GENERAL REVIEW
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADIS
Dosen
Pengampu:
Dr. H. M Akib, M.Ag
Disusun oleh:
Ayu Uswatun Khasanah-933402215
Psikologi-A
PRODI PSIKOLOGI ISLAM
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN KEDIRI
2015/2016
A. PENDAHULUAN
Hadits
yang menurut bahasa memiliki arti sesuatu yang baru memiliki pengertian secara
terminologi segala bentuk kalam selain kalam yang berasal dari Allah itu
bersifat hadits (baru), sedangkan kalam Allah itu memiliki sifat Qodim
(terdahulu). Sedangkan para ulama mendefinisikan dengan segala sesuatu yang
berasal dari Nabi atau sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik itu
erkataan, perbuatan, ataupun taqrirnya. Selain istilah hadits, juga terdapat
istilah lain yaitu Atsar, Sunnah, dan juga Khabar.
Sering
dengan perkembangan kodifikasi hadits, diikuti pula dengan berkembangnya ilmu
hadits. Ilmu hadits mencakup dua objek kajian pokok, yaitu ilmu hadits
riwayatul dan ilmu hadits dirayah. Mushthalahul hadits membahas tentang makna
yang terkandung dalam lafadz hadits berdasarkan kaidah tertentu seperti membahas tentang
rawi, sanad, musnad, dan matan, diterima atau ditolaknya suatu hadits.
B.
MUSTHALAHUL HADITS
Tahamul berasal dari kata masdar تحملا-يتحمل-تحمل yang berarti
menanggung,membawa,atau bisa diterjemahkan dengan menerima. Ulama sepakat bahwa
yang di maksud dengan tahamul al-hadits adalah[1].
Sedangkan dari segi terminologi al-hadits adalah[2] .
definisi lain mengatakan[3].
Ulama hadits memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz, untuk
batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyiz dalam hal ini ulama hadits pun
masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau10 tahun,
atau 20 tahun, bahkan ada yang mengatakan minimal berrusia 30 tahun.
Hadits
sendiri memiliki nama lain yaitu atsar, sunnah, dan khabar. Yang secara bahasa
diartikan khabar adalah “berita”, Sunnah yang
berarti “jalan”, dan atsar yang berarti “bekas” atau bisa juga
“dinukilkan”.
Beberapa istilah mengatakan
bahwa dalam pendapat musthalahul hadits yaitu sunnah menurut pengertian dalam
alqur’an[4].
Kedua hadits nama lainnya juga disebut sunnah menurut jumhuru’i-muhadditsin[5].
Khabar mempunyai tiga makna[6].
Karna semua hadits bersumber dari Nabi dan sedangkan khabar dari selainnya
Nabi. Orang yang menekunni khabar disebut[7].
Atsar, sebagai hadits mauquf yaitu datangnya dari sahabat dan hadits marfu
datangnya dari perkataan nabi[8],
dan orang yang menekuni atsar disebut[9].
Dari ke-empat istilah diatas
bahwa kebanyakan para muhadditsin itu berpendapat isilah tersebut hampir sama
satu sama lainnya, yah meskipun ada pula tidak berpendapat tapi ada suatu
pendapat yang mengatakan bahwa hadits datangnya dari Nabi Muhammad saja,
sedangkan khabar datangnya dari selainnya Nabi. Hadits adalah khabar, sedangkan
khabar setiap khabar tidak dapat disebut hadits. Dari hadits dan khabar, ada
istilah yang lebih umum daripada keduannya yaitu atsar[10].
Para muhadditsin menggunakan istilah[11].
Suatu hadits
mengandung tiga unsur yang selalu ada pada hadits, yaitu rawi[12],
sanad[13]
dan matan[14]. Rawi adalah sebutan untuk seseorang yang meriwayatkan hadits, rawi hampir
sama dengan sanad, perbedaannya pada hal pembukuan hadits. Setiap sanad adalah
rawi, tapi setiap rawi belum tentu sanad seperti halnya hadits dan khabar. Di
dalam sanad terdapat tiga istilah kata yaitu isnad[15],
musnid[16]
dan musnad[17].
C. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN
PEMBUKUAN HADITS
Periode pertama adalah pada masa rasulullah dimana
wahyu dan pembentukan hukumnya serta dasar-dasarnya yang mulai dari nabi
bangkit (ba’ats, diangkatnya sebagai rasul). Hingga wafatnya beliau pada tahun
11-H (13-SH-11-H). hadits tidak boleh di resmikan terlebih dahulu. Para sahabat
hanya boleh menghafal disetiap perkataan yang disampaikan nabi padanya dan
menyampaikannya kembali kepada sahabat yang lain dan tabi’in sangatlah kuat dan juga takut akannya bercampurnya dengan
ayat-ayat al-qur’an. Karena semakin maraknya pemalsuan hadits, sangatlah
diperlukan penghimpunan hadits menjadi satu. Khalifah umar bin abdul aziz
adalah kepala negara yang pertama kalinya menurunkan surat perintah secara
resmi untuk
penghimpunan hadits.
Hanya beberapa sahabat saja yang menuliskannya dalam
lembaran-lembaran, salah satunya adalah seperti Abdulloh Ibn Amr Ibn Ash yang
berjudul “Ash-Shadiqah”[18].
Kemudian ia bertanya apakah boleh dia menulis hadits-hadits yang
didengarnya, beliau menjawab اُكٗتُبْعَنِّيْ،فَوَالَّذِيْنَفْسِيْبِيَدِهِ،مَاخَرَجَمِنْفَمِيْإِلَّاحَقّ
“Tulislah!Demi
zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripada-Nya, selan hak.”
Alasannya kenapa hadits tidak boleh di resmikan
secara resmi seperti halnya yang ada pada di Al-Qur’an? karna dalam menulis dan
membukukan suatu hadits berupa ucapan, amalan ittu hal yang sulit dan hanya
beberapa sahabatlah yang mempunyai keahlian dalam menulis.
Yah
meskipun ada alasannya mengapa rasulullah ngelarang mereka buat menulis dan
ngebukuin secara resmi itu juga demi kebaikan mereka yang pada ujungnya di baca
dan di pahami apa isi artinya, tapi beliau loh ngebolehin menulis hadits bagi
mereka yang menjamin hadits yang disampaikan nabi dan tidak bercampur dengan
lafal Al-Qur’an. Asalkan penulisnya ga resmi seperti Al-Qur’an menulisnya untuk
dirinya sendiri. Sahabat Nabi yang menulis hadits adalah[19].
Rasulullah memerintahkan tugas sebagai berikut[20].
·
Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash r.a (7 SH-65 H)[21]
·
Jabir bin
‘Abdullah Al-Anshary r.a (16 H-73H)[22]
·
Human bin
Munabbih (40-131 H)[23]
Periode
kedua adalah periode sahabat setelah
rasulullah wafat para sahabat sedikit demi sedikit mulai menuliskan hadits dan
nyampein apa kata yang di denger dan dilihat dahulu rasulullah dalam
periwayatan hadits ini, galuput ama yang namanya penulisan hadits palsu. Mereka
ngadaiin yang namanya penyelidikan riwayat untuk menangkal banyak hadits palsu
yang mengatas namakan rasulullah[24].
Sabda nabi[25].
Periode ketiga masa perkembangan riwayat dan
perlawanan dari kota ke kota untuk mencari hadits yaitu masa sahabat kecil dan
tabi’in besar. (41 H- akhir abad pertama hijriyah).
Golongan yang membuat hadits palsu atau disebut dengan
hadits maudlu’[26]. dijelaskan
Hasbi Ash Shiddiqi (1991) pada bukunya yang berjudul Sejarah dan Perkembangan
Ilmu Hadits[27] .
Melihat dari perkembangan hadits dari awal hingga sekarang, para sahabat melakukan
banyak cara dalam memperoleh hadits Nabi. Dalam penjelasan Zainal Arifin dalam
bukunya Studi Kitab Hadits [28]. Pada memerintahan Abu Bakar dan Umar, penyebaran hadits belum disebarluaskan,
karena mereka tidak membenarkan dan memperbanyak riwayat dan juga mencegahnya
riwayat. Abu Hurairah berkata[29].
Periode keempat hadits mulai
dikumpulkan dan di bukukan disebutkan
khalifah-khalifahnya[30].
Beliau khawatir jika hadits trsebut lenyap bersamanya meninggalnya para
penghafal hadits, beliau ingin memelihara hadits dari hadits maud;u’ yang kini
mulai menyebar luasnya hadits maudlu. Kekhawatiran akan bahayanya bercampurnya
dengan Al-Qur’an sudah hilang karna sudah terkumpulnya jadi satu mushaf. Para
ulama hadits dalam membukukan hadits tidak menyaring terlebih dahulu sebab
fatwa sahabat dan tabi’in ikut membukukan hadits. Di dalam kitab tersebut
terdapat hadits yaitu[31].
Catatan ibnu hazm menghimpun hadits semata, selain itu Al-Imam Asy-Syafi’iy mencantumkan
seluruh hadits dalam kitab bernama[32].
Periode
kelima mulai mengumpulkan hadits dengan memisahkan
fatwa-fatwanya. Periode ini membukukan hadits shahih dalam sebuah kitab[33]
oleh[34]
terdapat kitab shahih 8.112 hadits 6.397 dari hadits asli, syarah yang tersebar[35]
oleh[36].
Selain kitab shahih muncul juga kitab sunan[37].
Periode
keenam hadits mulai diklarifikasikan
dengan mengelompokan hadits-hadits yang sejenis atau bersifat isinya dalam
kitab hadits. Lahirnya kitab-kitab hadits yang telah disusun oada priodee abad
sebelumnya yaitu[38].
Penyusunan dengan adanya membagi kitab shahih dan sunan ada dalam beberapa bab.
Berikut susunan yang menjadi 5 bagian yaitu[39].
Lalu muncullah sebuah kamus hadits berikut kamusnya yang diciptakan oleh ulama
hadits[40].
Periode ketujuh
merupakan periode yang terjadi
pada abad 656 H hingga sekarang. Ada hal yang dilakukan pada masa tersebut
yakni[41].
Serta menyusun pula kitab athraf dan lahirnya kitab sejarah hadits besar,
seperti Futh al-Bari, Irsyad as-Sari dll.
Munculnya juga beberapa kitab di masa ini yaknni pada abad ketujuh[42],
Pada abad kedelapan hijriah[43],
pada abad kesembilan[44],
pada abad kesepuluh[45].
Kemudian munculnya para golongan-golongan yang memanfaatkan hadits palsu untuk
mengunggulkan golongan-golongannya dari golongan lain. Pemalsuan hadits itu
berkembang terus menerus hingga penjajah dari negara Barat yang ikut membawanya
dengan tujuan untuk melumpuhkan kekuatan islam.
D. HADITS
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
يايها الذين امنوا اطيعو الله و رسولـه ولا تولوا عنه و انـتم
تسمعون (الأنفالـــــ : 20)
“Wahai orang-orang yang beriman!!! Taatlah kepada
Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling darinya, padahal kamu
mendengar (perintah-perintahNya).” Qs. Al-anfal : 20
Firman
Allah lainnya yang berkaitan dengan kedudukan hadits sangatlah banyak sekali,
salah satunya adalah
وَ أَطِـيْـعُوْا الله وَ أَطِـيْــعُوا الــرَّسُـوْلَ
وَاحْـذَرُوا
“Dan taatlah kamu kepda Allah dan kepada
Rasulnya dan berhati-hatilah” (Qs. Al-Maidah : 92)
Kemudian untuk ngejelasin lebih rincinya lagi tentang
hadits, ada beberapa fungsi hadits yang disebutkan oleh beberapa
ulama.Imam
Malik bin Anas menyebutkan,
fungsi hadits adalah[46]. Kemudian Imam Syafi’i meneyebutkan
fungsi hadits[47], dalam ar-risalah ditambahkan Bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal
menjelaskan empat fungsi yaitu[48].
Bayan at-taqrir[49]. Bayan an-Nasakh[50] berikut fungsinya
a.
Bayan At-Taqrir[51]
b.
Bayan At-Tafsir[52]
c.
Bayan At-Tasyri’[53]
Hadits adalah sumber hukum yang paling
banyak cabangnya, lengkap undang-undangnya dan paling lebar lapangannya. Dalil Al-Hadits (HR Hakim)[56].
E. Klasifikasi
Hadits Dari Segi Kuantitas
Banyak sekali perbedaan pendapat
mengenai pembagian hadits berdasarkan segi kuantitasnya. Diantara mereka ada
yang mengelompokan menjadi 3 macam yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada juga yang mengelompokan
menjadi 2 yaitu hadits mutawatir dan ahad karena menurut mereka hadits masyhur
itu tidak dapat berdiri sendiri, namun termasuk dalam hadits ahad[57].
Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi yang secara tradiri mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta[58]. Keberadaan
hadits ini
diragukan oleh beberapa ulama karena persyaratannya ketat sekali dimungkinkan
hadits mutawatir tidak ada[59]. Untuk dapat digolongkan kedalam
hadits mutawatir harus memenuhi syarat seperti Jumlah perawinya harus banyak Perawi
yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad, Secara
rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil
sepakat untuk berdusta, Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai
dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadist.
Pendapat lain bahwa hadits mutawatir ada tapi jumlahnya sedikit[60]. Beberapa
karya hadits mutawatir antara lain[61] Berikut
contoh hadits pada tiap-tiap bagian[62].
Hadits ahad merupakan hadits yang diriwayatkan
beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadits mutawatir.
هو مالم يجمع
شروط المتواتر
Hadits
ahad dibagi pula menjadi Shahih,
Hasan, dan Dlai’if, dengan tujuan untuk menentukan hadits tersebut diterima
atau ditolaknya suatu hadits. Hadits ahad ini dibagi menjadi 3 bagian sesuai
dengan jumlah perawi pada tiap tabaqahnya, yaitu Masyhur[64].
dijelaskan bahwa hadits shahih terbagi menjadi 2 bagian, yaitu hadits
shahih li-dzatihi dan hadits shahih li-ghairihi[65].Perawi
yang meriwayatkan hadits masyhur pada tiap thabaqahnya tidak harus selalu sama
atau seimbang
banyaknya. Misalnya hadits masyhur Bukhary-Muslim dari sahabat Ibnu ‘Umar r.a.
pada tabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh Umar sendiri, pada tabaqah kedua
diriwayatkan oleh ‘Alqamah, pada tabaqah ketiga diriwayatkan oleh Ibnu Ibrahim
At-Taimy, pada tabawah keempat diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id, dan yang
kemudian setelah itu diriwayatkan oleh orang banyak.
Mayoritas hadits dari Rasulullah dan
terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah hadits ahad. Hadits ahad memerlukan
penelitian yang lebih cermat apakah perawinya adil atau tidak, cacat atau
tidak, dhabith atau tidak yang akan menentukan apakah hadits tersebut hadits
shahih, hasan atau dhaif. Hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu[66].hadits
aziz diriwayatkan oleh dua orang pada salah satu tabaqah saja dan pada tabaqah
yang lain jumlah perawi lebih dari dua orang, hadits tersebut sudah dikatakan
sebagai hadits aziz. Misal hadits Rasulallah saw yang diriwayatkan oleh dua
orang sahabat yaitu[67]. Kemudian pada periwayatan
Hudzaifah tidak mendapat sambutan
dari
sekian banyak para tabi’iy[68].
Hadits
Gharib dibagi menjadi 2, yaitu hadits gharib mutlaq yang sahabat menjadi
refensi utama dalam periwayatan hadits sekalipun banyak tingkatan dan jalan.
Dan yang kedua adalah hadits gharib nisbi yang terjadi secara relative atau
dinisbatkan pada sesuatu tertentu atau tidak mutlaq. Tujuannya untuk menetapkan apakah
perawi masih bisa diterima periwayatannya atau ditolak Dan yang
terakhir dari pembagian hadits adalah Hadits
Gharib.
مَا تَفَرَدَبِهِ رَاوَ وَاحِدٍ فِى أَيِّ طبقة من طبقات السّند
“Hadits yang bersendiri seorang perawi dimana saja tingkatan (thabaqot)
dari pada beberapa tingktan sanad.” Berikut
contoh hadits aziz dan hadits gharib:
Hadits
pentakhrijkan Bukhary-Muslim dari sahabat Anas r.a[69], Hadits
gharib mutlak yang hampir seluruh rawinya menyendiri[70], Hadits
gharib nisby yang ditakhrijkan oleh Abu Dawud[71].Hadits Aziz berasal dari
kata عَزَّ- يَعِزُّ
yang memiliki artian sedikit atau langka. Hadits ini diberi nama aziz karena sedikitnya atau langka adanya, atau
kadang menjadi kuat ketika didatangkan sanad lain.
فَعَـزَّرْنَـا بِـثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّـا إِلَيْكُمْ مُـرْسَـلُوْنَ
“Kemudian kami perkuat dengan
(utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan berkata: Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang diutus kepadamu” (Qs. Yasin (36) : 14).
E. KLASIFIKASI HADITS DARI SEGI KUALITAS
Dalam menentukan tinggi rendahnya suatu
hadits dapat dilihat dari 3 hal yaitu jumlah rawi, kualitas rawi, dan keadaan
matan. Seperti hadits yang diriwayatkan 2 orang rawi lebih tinggi tingkatanya
dan hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi tingkatannya itu lebih tinggi
dari hadits yang diriwatakan oeh 2 orang. Sisi lain dalam
pembagian hadits ahad adalah membaginya menjadi 3 yaitu hadits shahih, hadits
hasan dan hadits dla’if. Sebelum menerima hadits ini diperlukan penyelidikan
terhadap rawi, baik identitas ataupun yang lainnya. Tujuan
penyelidikan ini adalah
untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau
tidak .
وَاخْتَارَ
مُوْسَى قَوْمَهُ سَبْعِيْنَ رَجُلًا لِـمِيْقَـتِـنَا
“Dan Musa memilih tujuh puluh
orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada watu yang telah kami
tentukan.” (Qs. Al-a’raf : 155)[72]. Disini para ulama membagi hadits ahad menjadi tiga tingkatan, yaitu hadits shahih,
hadits hasan, dan hadits dhaif. .
Suatu hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi beberapa syarat antara lain,
rawi adil[73], dlabit[74],
sanad
tidak terputus[75], hadits
tidak berillat[76]. Hadits
shahih dibagi menjadi 2 yaitu shahih li-dzatih[77]
dan shahih li-ghairihi[78]. Suatu
hadits dapat dikatakan hadits hasan[79], Hadits hasan terbagai menjadi 2
yaitu[80], Perbedaan
hadits hasan dengan hadits shahih[81].
Berikut contoh dari hadits shahih
li-dzatih dan shahih li-ghairih : Shahih li-dzatih[82], Shahih
li-ghairih[83]. Hadits dlaif[84], Hadits dlaif dikelompokan menjadi 2
jurusan yaitu Dari jurusan sanad[85], Dari jurusan matan[86]
Salah satu contoh hadits maudlu’[87] ada juga mengenai pengertian Hadits
hasan li-ghairihi ada beberapa pendapat, salah satunya adalah :
هو الضعيف إذا تعددت طرقه ولم يكن سبب ضعفه فسق الراوى أو كذبه
“Adalah Hadits Dhaif yang apabila berbilangan jalan sanadnya dan sebab
kedhaifan bukan karena fasik atau dusta perawinya.”
Hadits dlaif[88] Hadits Dhaif menurut Prof.
DR. H. M. A. Tihami dalam bukunya menjelaskan pengertian dari hadits dhaif adalah[89].
Para muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua
jurusan, yaitu yang pertama dari jurusan sanad terperinci lagi menjadi 2 bagian, yaitu cacatnya rawi dan gugurnya sanad[90]. Hadits dlaif yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah mungkin dapat
dihitung jari, dan kemungkinan ada pula hadits dlaif yang benar-benar lemah dan
tidak dapat diterima.
F. MACAM-MACAM
HADITS DLA’IF DARI SEGI SANADNYA
ما لـم يـبلغ
مـرتبة درجـة الحسن
“Hadits yang tidak sampai pada derajat hasan.”
Definisi untuk kata dha’if sendiri memiliki artian lemah. Sedangkan menurut
para muhaditsin mengatakan hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat
hadits shahih dan hadits hasan. Ada juga yang berpendapat
Pembagian hadits dlaif dari dari segi matan dibagi menjadi dua bagian, pertama
bagian adanya cacat pada perawi baik keadilan maupun hafalannya, bagian kedua
terputusnya sanad.
Macam-macam hadits dlaif berdasarkan cacatnya rawi baik keadilan maupun
hafalannya : Hadits
Maudlu’[91].Hadits
Matruk[92],Hadits
Munkar dan Ma’ruf[93],
Hadis muallaf67, Hadits Maqlub[94],
Hadits Mudraj (saduran)[95],
Hadits Mudltharrib[96],
Hadits Muharraf[97],
Hadits Mushahhaf[98],
Hadits Mubham, Majhul dan Matsur[99], Hadits
Syadz dan Mahfudh[100],
Hadits Mukhtalith[101].
Macam-macam hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi sehingga putus sanadnya :
Hadits Mu’allaq[102],
Hadits Mursal[103],
Hadits Mudallas[104],
Hadits Munqathi’[105],
Hadits Mu’dlal[106].hadits dhaif
itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits dhaif itu terdapat hal-hal
yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullaah[107]. Jenis-jenis hadits dhaif dapat dibagi menjadi beberapa
macam dengan mengaitkan kepada dua sebab pokok, yaitu : sebab-sebab
ketidakmustahilan sanad dan sebab-sebab selain ketidakmustahilan sanad.
Pertama
adalah sebab-sebab ketidakmustahilan sanad terbagi menjadi 5 hadits, yaitu
Hadits Mursal, Hadits Munqothi’, Hadits Mu’dhal, Hadits Mudallas dan Hadits
Mua’allal[108].
Kedua adalah sebab-sebab selain ketidakmustahilan
sanad terbagi menjadi menjadi 6 hadits, yaitu Hadits Mudha’af, Hadits
Mudhtharib, Hadits Maqlub, Hadits Syadz, Hadits Munkar, Hadits Mathruh[109].
Dari segi Sanadnya, suatu hadits
menjadi dha’if karena sanadnya tidak bersambung-sambung, rawi murid tidak
bertemu dengan rawi guru sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) dalam sanadnya
seperti Gugur sanad pertama (guru mudawin), haditsnya disebut Hadits Mu’allaq.
Dari segi Matan, penisbatan matan
tidak pada Rasulullah yang terdiri atas Penisbatan matan kepada sahabat disebut
dengan hadits mauquf dan Penisbatan matan kepada tabi’in disebut dengan hadits
maqthu’ Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun
tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat yaitu hadits tersebut tidak
berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah dan tidak menjelaskan hukum
syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah
mau’izah, targhib wa tarhib (hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah,
dan masih banyak lainnya.
Hadits dhaif tidak identik dengan
hadits mawadhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan
perawinya yang tidak terlalu parah. Sedangkan hadits mawadhu’ perawinya pendusta
Karena banyaknya pendapat ahli hadits yang bermacam-macam dan terkadang
menimbulkan pertentangan, Dijelaskan pula untuk bab sebelumnya, bahwa nggak
semua hadits Dla’if naik menjadi hasan dan akhirnya diterima periwayatannya.
Disini dikuatkan lagi dengan penggolongan hadits dlaif berdasarkan sanadnya.
Intinya hadits dlaif yang lemah periwayatannya dan tidak dikuatkan oleh
faktornya tetap ditolaknya periwayatan.
G. ILMU
AL-JARH WA AT-TA’DIL
o
Sebuah kata kerja yang berupa masdar yang memiliki
artian mengaibkan atau menolak[110].
Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya
periwayatannya[111]. A-jarh
menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya dan lainnya
yang menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan ditolaknya suatu hadits. Sedangkan
Al-ta’dil menurut bahasa memiliki arti menyamakan. Dan pengertian menurut
hadits yaitu suatu sifat rawi dari segi diterima dan nmpak keadilannya.
Sedangkan menurut Tengku Hasbi As Shiddiqi menjelaskan yaitu mensifatkan si
perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi
puncak penerima riwayat. Tujuan mempelajari ilmu ini selain
mengetahui ada tidaknya cacat perawi, kita juga bertujuan menjaga sunnahnya. Allah berfirman dalam surat
Al-Hujarat ayat 6[112]. Ada tiga pembagian pengkritik hadits yaitu Mustasyadid
(kelompok yang sangat ketat)[113],
Mu’tadil(kelompok yang moderat)[114]
dan Mutasahil (kelompok yang bersikap longgar)[115]
. Tingkatan pada jarh wa ta’dil sebagai berikut : Tingkatan pertama[116],
Tingkatan kedua[117],
Tingkatan ketiga[118],
Tingkatan keempat[119],
Tingkatan kelima[120]
Tingkatan keenam[121]. pada bab-bab
sebelumnya telah dijelaskan, jika suatu hadits terdapat kecacatan pada perawi
misalnya fasik, kafir dan anak-anak dapat diterima periwayatannya ketika sudah
dewasa meski dia menerima riwayatnya sejak kecil atau belum bertaubat
H. TAHAMMUL
WA ADDA’
Tahammul yang
menurut bahasa berarti menanggung atau membawa atau juga bisa diartikan dengan
menerima. Menurut para ulama sendiri at-tahammul mengambil atau menerima hadits seorang guru
dengan alah satu cara tertentu.
Sedangkan al ‘ada secara etimologi berati sampai atau
melaksanakan. Dan secara terminologi merupakan sebuah proses mengajarkan atau
meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada muridny
Adda’ menurut bahasa adalah penyampaian hadits kepada orang lain. Syarat-syarat
seseorang dalam menyampaikan hadits yaitu islam, baligh, dhabit, sanad
bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil, tidak
bertentangan dengan hadits lain dan Al-Quran
Dalam meriwayatkan suatu hadits ada dua kegiatan yaitu penerimaan hadits
dan kegiatan penyampaian hadits. Ilmu tahammul wa adda’[122]. Ada delapan metode dalam penerimaan
hadits, yaitu : As-Sima’[123],Al-Qira’ah[124] Perbedaan pendapat tentang kedudukan
al-qira’ah yaitu lebih tinggi daripada as-sima’[125],
kedudukan dua-duanya sama[126],
as-sima lebih tinggi dari pada al-qira’ah[127], Al-Ijazah[128], Al-Munawalah[129], Al-munawalah
mempunyai 2 tipe[130],
Al-Mukatabah[131]
Sama halnya al-munawalah, al-mukatabah dibagi menjadi 2 tipe[132],
Al-Ilam[133],Al-Wasiyah[134],
Al-Wajadah[135].
I. INGKAR
SUNNAH
Kata “ingkar sunnah” yang berasal dari bahasa arab yang berarti diantaranya
tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak
mengetahui sesuatu. Secara terminologi dapat diartikan menolak, tidak menerima,
tidak mengakui baik lahir maupun batin atau lisan dan hati yang
dilatarbelakangi atau faktor lain. Ingkar sunnah[136]
dibagi
oleh Imam menjadi 3 golongan[137].
·
Golongan yang menolak sunnah secara
keseluruhan, Kelompok
yang berada di golongan ini adalah golongan Zindiq dan golongan Khawarij.[138]
Disisi lain golongan Mu’tazilah yang menolak sunnah secara keseluruhan.[139]
Semua golongan tersebut yang dimaksud dalam kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i. [140]
·
Golongan yang menolak sunnah selain yang
sesuai dengan petunjuk Al-Quran
Golongan
ini menolak sunnah dengan alasan bahwa
Al-Quran
merupakan sumber hukum yang pertama dan sifatnya universal bagi syariat islam[141].
Terdapat dua
hal yang menjadi argumen besar para pengingkar sunnah sebagai alasan dan
landasan yang digunakan. Argumen-argumen naqli dan argumen-argumen non-naqli. Yang
dimaksud dengan argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat a-quran saja, tetapi
juga berupa sunnah atau hadits Nabi. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam
surat Al-An’am ayat 38
مَا فَرَطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“....... Tiadalah
kami alphakan sesuatu didalam alkitab”.
Golongan yang menolak
sunnah ahad dan menerima yang mutawatir
Golongan
ini menolak sunnah dengan alasan,bahwa hadits ahad hanya sampai ke dhanni saja,
Kelompok yang menolak sunnah ini adalah golongan Qadariyah, Rafidhah dan
Mudzhab Dhahiri[142] Kehadiran
hadits palsu sudah tidak begitu marak, mungkin dikarenakan menurunnya jumlah periwayat
hadits dan hanya menerima segala aturan –aturan secara instan tanpa harus
bersusah payah terlebih dahulu, misalnya aturan dan jumlah dalam berzakat yang
dijelaskan dalam al-quran dan diterangkan secara rinci dalam hadits. Dengan
begitu dapat disimpulkan bahwa mereka telah menerima sunnah sebagai sumber
hukum islam kedua.
J. PENUTUP
Hadits adalah ketetapan, ucapan,
perbuatan ataupun sifat Nabi untuk umat islam yang berfungsi sebagai hukum
islam yang kedua setelah al-quran. Hadits yang pada awalnya mengalami larangan
dalam penulisan dan pembukuan dan setelah itu mengalami banyak perkembangan
yang sangat pesat dalam beberapa periode. Hadits memiliki peranan yang sangat
penting bagi al-qur’an. Yaitu sebagai penjelas, penguat, dan penambah hukum yang
kurang atau tidak ada dalam al-qur’an.
Hadits
sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-Quran. Sudah diketahui bahwa
Al-quran adalah wahyu yang bersifat global, dan fungsi hadits untuk
menjelaskannya secara terperinci serta memiliki beberapa fungsi.Hadits dilihat
dari segi sedikit atau banyaknya rawi, terbagi menjadi dua macam yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad. Jumlah periwayat hadits adalah poin utama untuk
melihat suatu hadits. Hadits
ahad dibagi
menjadi 3 yaitu hadits shahih, hadits hasan dan hadits dla’if. Sebelum menerima
diperlukan penyelidikan terhadap rawi, baik identitas ataupun yang
lainnya.Pembagian hadits dlaif dari dari segi matan dibagi menjadi dua bagian,
pertama bagian adanya cacat pada perawi baik keadilan maupun hafalannya, bagian
kedua terputusnya sanad. Dalam pembagian bagian tersebut ada beberapa macam
hadits dlaif.
Ilmu
al-jarh wa at-ta’dil ini membahas tentang keadaan rawi apakah ada aib yang
dimilikinya atau adil pada dirinya. Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi
dari segi diterima atau ditolaknya periwayatannya. Kita sebagai umat islam pengikut
Nabi Muhammad, sudah selayaknya wajib mempelajari, menerapkan dan mengamalkan
kepada yang lainnya. Sudah dijelaskan di atas bahwa mengimani hadits adalah
suatu kewajiban yang sama seperti mengimani al-quran sebagai sumber hukum
setelahnya. Mengimani hadits dan menjalankannya akan menjamin kita berada pada
jalan yang telah di tunjukan oleh Rasulullah.
[1] Mengambil atau menerima hadits dari
seseorang guru dengan salah satu cara tertentu.
[2]
لتحمل معناة تلقئ
الحديث واحدعنالشيخ tahamul artinya menerima
hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
[3]
اخذالحديث ويلقية عن
الشيخ بطريق من ظرق التحمل mengambil dan
menerima hadits dari seorang syekh dengan cara tertentu dari beberapa cara
penerimaan.
[4] Kebiasaan yang mengacu kepada
kebiasaan ketentuan illahi dalam mengatur makhluk allah serta menghukum para
pendusta.
[5] Sesuatu yang di sandarkan kepada nabi
muhammad saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya.
[6] Pertama khabar sinonim, kedua khabar
berbeda dengan hadits, ketiga khabar lebih umum dari hadits.
[7] Akhbary
[8] Menurut Az-Zarkasyi
[9] Atsary
[10] Atsar ialah merupakan istilah yang
mencangkup segala berita dan perilaku para sahabat, tabi’in dan selainnya.
[12]
Rawi adalah orang yang menyampaikan atau
meriwayatkan hadits dalam suatu kitab yang telah diterima dari seorang guru.
Sanad adalah jalan yang menghubungkan matmul hadits kepada Nabi. Sedangkan
matan adalah perkataan yang disebutkan pada akhir sanad sesudah hadits.
[13] Sanad adalah orang-orang yang
menyampaikan materi suatu hadits.
[14] Matan adalah berita atau pembicaraan
yang disampaikan oleh sanad terakhir.
[15] Isnad adalah kegiatan orang yang
menyandarkan suatu hadits.
[16] Musnid adalah Sebutan sebagai orang
yang menyandarkan
[17] Musnad adalah sesuatu yang
disandarkan.
[18] Salah satu sahabat nabi yang menulis
hadits dalam bentuk lembaran-lembaran(Shahifah).
[19] Abu Hurairah r.a
[20] يَارَسُولَاللهِ،اُكْتُبُوالِى،فَقَالَ
: اُكْتُبُوالَهُ
“Ya
Rasulullah! Tulislah untukku! “Jawab Rasul: “Tulislah oleh kau sekalian
untuknya!”
[21] Dalam
menulis hadits nabi dia
itu
mendapat beberapa teguran dari orang Quraisy. Disisi lain dia itu diketahui
seorang penulis yang baik, dan karena itulah Rasulullah ngiziniin dia nulisin
hadits beliau, dengan naskahnya “Ash-Shahifah
Ash-Shadiqah” berisi 1000 hadits.
[22] Salah
satu sahabat nabi ini
yang nulisin hadits
nabi dan ngenamain naskahnya “Shahifah Jabir”. Naskah Jabir ini ngedapetiin pujian dari Qatadah
bin Da’amah As-Sudusy, katanya : “Sungguh Shahifah ini lebih kuhafal daripada
surat Al-Baqarah.”
[23] Beliau ini adalah seorang tabi’iy yang alim
dan mengutip
hadits Rasulullah saw. Hadits tersebut dikumpulin dalam satu naskah yang dinamai “Ash-Shahifah ash-Shahihah” dengan hadits sebanyak 138 hadits
[24] Rodliyana, Muhammad Dede.
Perkembangan pemikiran ulum-al-hadits dari klasik sampai modern. Bandung:CV
Pustaka Setia.2004
“cukup kiranya dosa bagi seorang manusia
yang menceritakan segala apa yang didengarnya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
[26] Hadis maudlu’ adalah
hadis palsu atau juga bisa dibilang ucapan atau buah pikir seseorang yang
mengatasnamakan Rasulullah.
[27]
:
menjelaskan urutan masa pertumbuhan hadits. Masa pertama : masa wahyu dari
pembentukan huku serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit hingga beliau
wafat pada tahun 11 H. (dari 13 SH-11 H)
Masa kedua :
masa membatasi riwayat, masa khulafaur rasyidin. (12 H- 40 H)
Masa ketiga :
masa perkembangan riwayat dan perlawanan dari kota ke kota untuk mencari hadits
yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar. (41 H- akhir abad pertama hijriyah)
Masa keempat :
masa pembukuan hadits (dari permulaan abad kedua hijriyah hingga akhir)
Masa kelima :
masa mentakhsihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ketiga hingga akhir)
Masa keenam :
masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus
(dari awal abad keempat hingga jatuhnya baghdad pada tahun 656 H)
Masa ketujuh :
masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits
hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits
Zawa-id (656 H hingga dewasa ini).
[28]
menjelaskan bahwa para sahabat
menempuh cara seperti Mengikuti
majelis-majelis Nabi. Majelis-majelis yang diasuh Nabi merupakan majelis ilmu
yang memberikan manfaat yang besar bagi umat islam
[29] Sekitarnya saya memperbanyak
tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambukannya. Jami’ Ahkam Al-Bayan II :
121.
[30] Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah dari
Bani ‘Umaiyah.
[31] Hadits marfu’, mauquf dan maqthu.
[32] Al-Umm kitabnya “Musnadu’sy-Syafi’iy”.
[34] Muhammad bin Ismail Al-Bukhary.
[35] “fathu’I-Bary”
[36] Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim
Al-Qusyairy (204-261H).
[37] Sejarah perawi hadits dengan ini
dapat mengetahui tingkat kebenaran,kepercayaan,nilai hafalannya.
[38] Sunanu’l-Kubra
karya Abu Bakar
Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384 – 458 H), Muntaqa’l-Akhbar karya Majdudin Al-Harrany (wafat pada tahun 652 H),
[39] Suruhan,larangan,khabar,ibadat,pekerjaan.
[40] Kitab Al-Jami’ush-Shaghir fi
ahaditsi’I-basyiri’n-nadzir. Karya imam jalau’ddin As-Suyuthi (849-911 H).
Dakha-iru’l-Mawarits
fi’d-Dalalati ‘ala mawadli’i’l-ahadits karya Al’Allamah As-Sayyid Abdul-Ghani Al-Maqdisy
An-Nabulisy
[41] Menerbitkan isi kitab hadits,
menyusun dan menyaring kitab takhrij, membuat kitab jami’ umum dan kitab hadits
tentang hukum.
[42] Al-Jami’
baina ash-Shahihan susunan
Ahmad ibn Muhammad al-Qurhuby (Ibnu Hajjah) pada tahun 642 H, Riyadh ash-Shalihin oleh Imam an-Nawawy
[43] Al-Jami’
al-Masanid was sunan al-Hadt ila Aqwami Sanan disusun Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-‘Ilma fi Ahadits al-Ahkam disusun
Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied
[44] Ith-haf
al-Khiyarbi Zaqa’id al-Masanid al-‘Asyrahdisusun Muhammad ibn Abu Bakar al-Baghawy, Bulugh al-Maram disusun Al-hafizh
Al-Asqalany, Majma’ az-Zawaid wa mamba’
al-Fawa’id disusun Al-Hafizh Abu al-Hasan Ali ibn Abi Bakr Ibn Sulaiman
asy-Syafi’y al-Haitamy
[45]
Jam’u al-Jawami’ disusun
Al-Hafizh As-Sayuthy Al-Jami’ ash-Shaghir
min Ahadits al-Basyir an-Nadzir disusun As-Sayuthy. Hingga tokoh pada masa
ini adalah, Az-Zahaby (748 H), As-Sayuthy (911 H), Al-Mizzy (742 H), Ibnu Rajab
(795 H), Al-Bulqany (805 H).
[49]
memperkokoh
isi kandungan dalam Al-Quran. Bayan
at-tafsir, menjelaskan secara rinci dan memberi tafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Quran yang masih bersifat global, memberi batasan atas ayat-ayat yang
bersifat mutlak atau khusus dan mengkhususkan ayat yang bersifat umum.
[50]
sebagai ketentuan yang datang
kemudian menghapus ketentuan yang dulu, karena yang datang terakhir dianggap sebagai penyempurna
[51]إِذَارَأَيْتُمُوْهُفَصُوْمُوْاوَإِذَارَأَيْتُمُوْهُفَاَفْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan , maka berpuasalah, juga apabila
melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR Muslim) Mentaqrirkan ayat
al-quran surah al-baqarah ayat 185 :
فَمَنْثَهِدَمِنْكُمُالشَّهْرفَلْيَصُم “…maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,hendaklah
ia berpuasa..” Bayan taqrir
merupakan fungsi hadits yang bertujuan untuk memperkuat isi yang terdapat
didalam al-qur’an
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat.” (HR Buhkari dan
Muslim)
Menerangkan surah al-baqarah ayat 43 :
وَأَقِيْمُوْاالصَّلٰوةَوَأٰتُوْاالزَّكٰوةَوَارْكَعُوْامَعَالرَّاكِعِيْن
“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan
ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Bayan
tafsir juga berfungsi memberikan batasan terhadap ayat al-quran yang masih
umum. Rudy Al-Hana,dkk, 2013, Studi
Hadits, ( Tim Reviewer UIN Sunan Ampel Press), hlm. 53-54
: menjelaskan contoh dari bayan taqrir pada surat al-baqarah ayat 185 “Karena yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa.”
Ayat diatas ditaqrirkan dengan hadits yng dikeluarkan
oleh Muslim dari Ibn Umar yang berbunyi :
“Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah,
begitupula jika melihat bulan itu maka berbukalah…..” (HR. Muslim)
Dan
contoh dari bayan tafsir ““Shalatlah
sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadits diatas menjelaskan bagaimana mendirikan shalat.
Dan salah satu ayat yang memerintahkan untuk shalat adalah
“Dan kerjakanlah shalat,
tunaikan zakat, dan rukuklah bersama-sama orang yang rukuk.” (Qs. Al-Baqarah :
43)
اِنَّرَسُوْلَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَرَضَزَكَاةَالْفِطْرِمِنْرَمَضَانَعَلَىالنَّاسِصَاعًامِنْتَمَرٍأَوْصَاعًامِنْشَعِيْرِعَلَىكُلِّحُرٍّاَوْعَبْدٍذَكَرٍأَوْأُنْشْىمِنَاْلمُسْلِمِيْنَ33
“Rasulullah
telah mewahibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat
(sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki
atau perempuan muslim.” (HR Muslim
[55]
كُتِبَعَلَيْكُمْإِذَاحَضَرَأَحَدَكُمُاْلمَوْتُإِنْتَرَكَخَيْرًالْوَصِيَّةُلِلْوَلِدَيْنِوَالأَقْرَبِيْنَبِالْمَعْرُوْفِحَقًّاعَلَىاْلمُتَّقِيْنَ
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat
secara ,a’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”
[56] Meskipun
sudah banyak penjelasan tentang hadits sebagai sumber hukum islam kedua setelah
Al-Quran, telah dipaparkan beberapa dalil yang memperkuatnya tapi masih saja
ada golongan yang tidak menyetujui bahkan menolak adanya hadits. Jika alasan
mereka dalam menolak hadits adalah Al-Quran, Al-Qur’an telah mencangkup
segalanya, maka perlu dibuktikan dengan contoh perbuatan yang pelaksanaan
berdasarkan Al-Quran dengan mengikuti cara-cara dalam hadits atau sunnah. Dengan begitu, perbuatan yang sifatnya umum akan dijelaskan
secara rinci. Misal perintah sholat dalam al-quran, di dalam hadits diterangkan
cara-cara sholat dengan benar, ketika sujud atau ruku’
[57] Pendapat
Naruddin hadits mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai
akhir sanad dan semuanya bersandar pada panca indra. Sedangkan hadits ahad
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits mutawatir
تَرَكْتُفِيْكُمْأَمْرَيْنِلَنْتَضِلُّوْاأَبَدًامَاإِنْتَمَسَّكْتُمْبِهِمَاكِتَابَاللهِوَسُنَّةَرَسُوْلِهِ
“aku tinggalkan dua pusakaku untukmu sekalian, dan
kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh
kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”.
[61] Al-Azhaar
al-Mutanaatsirah fii Al-Akhbar al-Mutawatirah dan Qathf al-Azhaar karya al-Imam jalaluddin Abuu al-Fadhl ‘Abdur
Rahman as-Suyutii, Nadzam
al-Mutanaatsirah min al-hadis al-Mutawatirah karya Muhammad Abdullah bin
Ja’far al-Kattanii.
[62]Contoh hadits mutawatir lafdhy
قَالَرَسُوْلُاللهِصَلْعٓمْ:
(مَنْكَذَبَعَلَىَّمُتَعَمِّدًافَلْيْتَبَوَّأْمَقْعَدَةُمِنَالنَّار
dirinya sendiri) dan pada tiap sanadnya. “Konon Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua
tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat istisqa’. Dan
beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawy مَارَفَعَصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَدَيْهِحَتّٰىرُؤِىَبَيَاضُاِبْطَيْهِفِىثَيْءٍمِنْدُعَاعِهِاِلَّافِىاْلاِسْتِسْقَاءِ
dirinya sendiri) dan pada tiap sanadnya. “Konon Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua
tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat istisqa’. Dan
beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya”.
[64] Hadits
masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum
mencapai derajat mutawatir. Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
dua orang, meskipun hanya pada tabaqah pertama saja. Hadits gharib adalah
hadits yang diriwayatkan seseorang dengan menyendiri.
[67] Hudzaifah Ibnu’l-Yaman dan Abu
Hurairah r.a. Kemudian dari Abu Hurairah r.a diriwayatkan oleh 7 orang tabi’iy
yaitu Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman, Abu Hazim, Thawus, Al-A’raj, Humam, Abu Shalih
dan Abdu’r-Rahman
[68] Alfiyatu’s-Suyuthy, Syarah Ahmad
Muhammad Syakir, halaman: 50.
[69] لَايُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىاَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْنَفْسِهِوَوَالِدِهِوَوَلَدَهِوَالنَّاسِأَجْمَعِيْنَ
“Rasulullah saw bersabda : tidaklah
sempurna iman salah seorang daripadamu, sehingga aku lebih dicintainya daripada
ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia
seluruhnya.”
[70] قَالَالنَّبِىُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ
: اَلْاءِيْمَانُبِضْعٌوَسَبْعُوْنَشُعْبَةً.ُ وَالَحَيَاُءشُعْبَةٌمِنَاْلاءِيْمَانِ
“Nabi Muhammad saw. Bersabda : Iman itu
(bercabang-cabang menjadi) 73 cabang. Malu itu salah satu cabang dari iman”
[72]
Nur Kholis,
Pengantar Studi Al-quran dan Al-hadits, hlm. 277
[73] adalah berpegang teguh kepada
pedoman adab-adab syara’, baik terhadap perintah-perintah yang harus dilakukan
maupun larangan yang harus ditinggalkan, keadilannya diridlai oleh Allah –
Menurut Al-Irsyad.
[78] Shahih li-ghairih yaitu hadits
hasan li-dzatih yang naik derajatnya menjadi hadits shahih li-ghairih.
[79] hadits
yang dinukilkan oleh perawi adil tapi tak begitu kuat ingatannya, bersambung
sanadnya dan tidak terdapat illat serja kejanggalan terhadap matannya
[80] hadits hasan li-dzatih dan hadits
hasan li-ghairih. hadits hasan li-dzatih juga mempunyai arti yang
sama, yaitu hadits hasan yang memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Sedangkan
hadits hasan li-ghairih adalah hadits dlaif yang karena rawinya burukn hafalannya, tidak dikenal
identitasnya (matsur) dan mempunyai cacat (mudallis) dibantu dengan hadits lain
yang semisal dan semakna atau banyak yang meriwayatkanya, dapat naik menjadi
hadits hasan li-ghairih.
[81] terletak pada syarat kedlabitan
rawi.Pada
hadits hasan kedlabitan rawi lebih rendah daripada hadits shahih
[82] Hadits Bukhary yang bersanadkan
Isma’il, Malik, Tsaur bin Zaid, Abi’l-Ghais dan Abu Hurairah r.a
قَالَالنَّبِىُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ
: رَالسَّاعِىْعَلَىاْلأَرْمَلَةِوَاْلمِسْكِيْنِكَاْلمُجَاهِدِفِىسَبِيْلِاللهِ،أَوْكَالَّذِىيُصُوْمُالنَّهَارَوَيَقُوْمُالَّليْلَ
“Orang yang memelihara janda dan orang
miskin itu, bagaikan pejuang sabilillah atau bagaikan orang yang berpuasa di
siang hari dan bertahajud di malam hari.”
كَانَلِلنَّبِىِّصَلَىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفِىحَائِطِنَافَرَسٌيُقَالُلَهُالُّلحَيْفُ
“Konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh di kandang kami yang diberi
nama Al-Luhaif”
[84] Hadits
dlaif merupakan hadits yang hanya memenuhi sedikit dari syarat-syarat hadits
shahih maupun hadits hasan, Hadis dla’if disebut juga dengan hadits yang lemah
.
[85] yaitu cacatnya 1 rawi tentang
keadilan ataupun hafalannya 2 sanadnya terputus karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu
satu sama lainnya.
[88] hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih ataupun hasan, baik karena kecacatan pada sanad maupun matannya
[89]ما فقد شرطا أو اكثر من شروط الصحيح أو الحسن“ialah
hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih
atau hadits hasan.”
[90]
Fatchur
Rahman, 1987, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, hlm. 167-168 : Adanya cacat
pada rawi dan kedhabithn ada 10 macam, yaitu : Dusta, haditsnya disebut hadits
mudlu’, Tertuduh dusta, haditsnya disebut hadits matruk, Fasik, Banyak salah,
Lengah dalam menghafal, hadits dha’if karena fasik, banyak salah, dan lengah
dalam menghafal haditsnya disebut hadits munkar, Banyak waham (purbasangka),
hadits karena sebab berikut disebut dengan hadits mu’allad, Menyalahi riwayat
orang kepercayaan, Tidak diketahui identitasnya (jalalah) disebut dengan hadits
mubham, Penganut bid’ah disebut dengan hadits mardud, Tidak baik hafalannya
disebut dengan syadz dan mukhtalits. Dari
sanadnya yang digugurkan (tak bersambung) berdasarkan jumlah anad yang gugur
ada beberapa pembagian yaitu : Kalau yang digugurkan itu sanad pertamanya, maka
haditsnya disebut dengan hadits mu’allaq. Kalau yang digugurkan itu sanad
terakhir (sahabat) disebut dengan hadits mursal. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut
dengan hadits mu’dlal. Jika tidak
berturut-turut, disebut dengan hadits munqothi’
[91]Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang berdusta, meskipun itu hanya
dilakukan sekali seumur hidupnya.
[92]
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh berdusta
[93]Hadits
munkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak kesalahan,
kelengahan dan jelas kefasikannya.Hadits Ma’ruf yaitu suatu hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang melawan riwayat orang lemah.
[94]
hadits yang menyalahi hadits lain dengan memutarbalikkan yang seharusnya
didahulukan dari yang diakhirkan
[95]
hadits yang diriwayatkan seorang rawi dengan memberi saduran atau tambahan
dalam redaksinya
[96]Yaitu
hadits yang diriwayatkan seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda
sehingga tidak dapat dikumpulkan dan ditarjihkan serta diunggulkan salah
satunya.
[97]
menyalahi hadits lain dikarenakan kesalahan harokat (tanda hidup) dan sakanat
(tanda mati) pada suatu kata tapi tulisan masih tetap
[98]
Yaitu hadits yang menyalahi hadits lain karena perubahan titik kata, tapi
bentuk tulisannya tidak berubah
[99]Hadits
mubham adalah hadits yang diriwayatkan seorang rawi yang dalam matan atau
sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan identitasnya.Hadits majhul
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dijelaskan dengan jelas
identitasnya. Hadits matsur adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang terkenal keadilannya dan kedlabithannya dan diriwayatkan oleh orang tsiqah
tapi penilaian tersebut belum mencapai kesepakatan
[100]Hadits
syadz yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah tetapi menyalahi
riwayat orang yang lebih rajih daripadanya. Hadits mahfudh adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
[101]Yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lanjut usia, tertimpa bahaya, atau hilang kitabnya sehingga
hafalannya buruk karenanya.
[102]
Yaitu
hadits yang gugur rawinya mulai dari sanad yang pertama atau hingga yang
terakhir secara berututan. Keguguran sanad bisa terjadi hanya pada awal sanad,
seluruh sanad, seluruh sanad kecuali sahabat.
[103]
Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh tabi’iy maupun sahabat kecil dengan menggugurkan
nama sahabat, sehingga tidak diketahui hadits tersebut berasal dari sahabat
mana ia memperolehnya.
[104]
Yaitu
hadits yang menggugurkan rawinya dengan tujuan untuk menutupi kelemahan hadits
tersebut agar dianggap hadits tersebut tidak bernoda, sedangkan orang yang
menggugurkan rawi tersebut pernah saling bertemu.
[106]
Yaitu
hadits yang gugur 2 orang rawinya secara berurutan, baik sahabat dengan
tabi’iy, tabi’iy dengan tabi’it-tabi’in atau pun yang lainnya secara berurutan.
[108] DR.
Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al-Hadits, hlm. 304 : Hadits
mursal menurut ulama’ fiqh dan ushul adalah hadits yang perawinya melepaskan
tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya. Hadits Munqothi’ adalah
hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau
lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi
gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalau hadits
mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sedangkan dalam hadits
ini tidak ada batasan. Hadits Mu’dhal yaitu hadits yang dari sanadnya gugur dua
atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah hadits
yang dimursalkan oleh tabi; at-tabi’iy. Hadits ini sama, bahkan lebih
rendahndari hadits munqothi’. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila
kemunqothi’annya lebih dari satu tempat. Hadits Mudallas adalah hadits yang
menyembunyikan sesuatu dengan cara diam
tanpa menyebutkannya. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian ta’dil pada
jual beli, yaitu menyembunyikan aib dalam jual beli atau dalam hal segala
sesuatu. Hadits Mua’allal yaitu hadits yang tersingkap didalamnya illah qodihah
yang kadang-kadang pada sanad dan matan sekaligus, meski lahiriyahnya tampak
terbebas darinya
[109] Ibid,
hlm. 305-309 : Hadits Mudha’af
yaitu hadits yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli hadits
menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matanya, dan
sebagian yang lain menilainya kuat. Hadits Mudhtharib adalah hadits yang
diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin
mentarjihkan sebagiannya, atas sebagian yang lain, baik perawinya atu atau lebih.
Hadits Mudha’af yaitu hadits yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli
hadits menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matanya,
dan sebagian yang lain menilainya kuat. Hadits Mudhtharib adalah hadits yang
diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin
mentarjihkan sebagiannya, atas sebagian yang lain, baik perawinya atu atau
lebih. Hadits Maqlub yaitu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri
perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atausuatu sanad
untuk matan lain. Hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqot
meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Dan
apabila di antara sekian perawi tsiqot ada diantara mereka yang menyimpang dari
lainnya. Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang
berbeda dengn perawi-perawi lain yang tsiqot. Oleh karena itu, kriteria hadits
munkar adalah penyendirian perawi dhaif dan mukhalafah. Hadits Mathruh menurut
salah satu ulama, hadits mathruh adalah hadits yang diriwayatkan secara
menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk orang yang
dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits
[110]
DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, 2007, Ushul
Al-Hadits, hlm. 233 : “al-jarh secara etimologis merupakan bentuk masdar, dari
kata جرح – يجرحه yang berarti
seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandi dengan mengalirnya
darah dari luka itu.
[112]
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَءامَنُوْاإِنْجَآءَكُمْفَاسِقُبِنَبَإٍفَتَبَيَّنُوْاأَنْتُصِيْبُوْاقَوْمًابِجَهَلَةٍفَتُصْبِحُوْاعَلَىٰمَافَعَلْتُمْنَدِمِيْنَ
“Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”
[113]
Kelompok Mustasyadid
adalah al-Jaujazani, abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hatim, an-Nasa’I, Syu’bah, Ibn
al-Qattan, Ibn Ma’in, Ibn al-Madini dan Yahya al-Qaththan
[114]
Kelompok mu’tadiladalah
al-Bukhari, ad-Daruqutni, Ahmad, abu Zae’ah, Ibn ‘Adi, az-Zahabi dan Ibn Hajar
al-‘Asqalani
[115]
Kelompok Mutasahil
adalah Tarmizi, al-Hakim, Ibn Hibban, al-Bazzar, asy-Syafi’I, ath-Thabrani, Abu
Bakar al-Haitsami, al-Munziri, Ibn Khuzaimah, ibn as-Sakkan dan al-Baghawi.
[116]
: pada jarh, ini merupakan kelemahan dengan tingkatan
paling rendah (misal lemah haditsnya, ada dusta pada dirinya), pada ta’dil ini
merupakan tingkatan paling tepat dalam periwayatan.
[117]
: pada jarh, kelemahan perawi dan tidak bisa digunakan
hujjah (tidak diketahui identitas, hadits dlaif). Pada ta’dil, menyebutkan
sifat kekuatan, ketsiqahan , keadilan, ketepatan dalam meriwayatkan baik lafadz
atau makna.
[118]
pada jarh, lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya (dlaif sekali). Pada ta’dil, menunjukan ketsiqahan tanpa menunjukan
penguatan.
[119]
pada jarh, penuduhan dusta atau pemalsuan hadits
(dituduh dusta). Pada ta’dil, menunjukan keadilan dan kepercayaan tanpa isyarat
kekuatan hafalan dan ketelitian.
[120]
pada jarh, menunjukan sifat dusta atau pemalsu (tukang dusta). Pada
ta’dil tidak menunjukan adanya pentsiqahan dan celaan.
[121]
pada jarh,
menunjukan adanya dusta yang berlebihan dan ini merupakan seburuk-buruknya
tingkatan (orang paling pembohong). Pada ta’dil, menunjukan mendekati celaan
(haditsnya lumayan).
[122]
Penjelasan tentang cara
mendapat dan mnerima suatu hadits dari syaikh dan cara menyampaikan hadits
tersebut dengan sighat (lambang) tertentu
[123]Metode ini melalui cara
mendengarkan langsung atau didektekan oleh gurunya, baik dari hafalan dan
tulisannya.
[124]Metode ini melalui membaca
tulisan atau hafalan hadits seorang murid dari hadits atau tulisan gurunya.
[125]Pendapat Abu Hanifah, Ibn Abi
Dzib.
[126]Pendapat Ulama Hijaz, Ulama
Kufah, Imam Malik, Bukhari.
[127]Ibnu Ash-Shalah, Imam dan ulama
lain.
[128]Perizinan yang diberikan guru
kepada muridnya untuk meriwayatkan haditsnya riwayatnya.
[129]Sang guru memberikan kitab atau
tulisan hasil periwayatan haditsnya kepada sang murid yang kemudian
diperintahnya sang murid untuk meriwayatkannya.
[130]
yaitu
memberikan kitab dengan dibarengi ijazah untuk meriwayatkan kembali berdasar
kitab atau tulisannya tersebut, yang kedua yaitu tanpa dibarengi dengan ijazah
untuk meriwayatkan (hal ini dianggap tidak sah).
[131]Sang guru menulis sendiri atau
menyuruh orang lain untuk menulis hadits yang kemudian diberikan kepada orang
yang tidak hadir atau yang hadir.
[132]
yaitu
pertama dibarengi dengan ijazah untuk meriwayatkannya (dianggap sah) dan tidak
dibarengi dengan ijazah (diperselisihkan).
[133]Sang guru memberitahu muridnya
bahwa hadits yang diriwayatkan asli periwayatannya sendiri tapi tanpa menyuruh
muridnya untuk meriwayatkannya.
[134]Sang guru meninggalkan pesan
kepada muridnya sebelum bepergian atau meninggal dunia untuk meriwayatkan
haditsnya.
Metode ini mempunyai perbedaan pendapat antara Ibnu Sirin yang membolehkan
mengamalkan metode ini dan ulama jumhur yang melarangnya bila sang murid tidak
mempunyai ijazah dari pewasiat.
[135]
Seseorang
menemukan hadits orang lain yang dianggap shahih tanpa melalui metode as-sima’,
al-ijazah atau al-munawalah. Pendapat para ulama, Imam Syafi’i dan pengikutnya
memperbolehkan, para Muhadditsin dan ulama Malikiyah melarangnya, Muhaqqiqin
mewajibkan jika diyakini atas kebenarannya.
[136]
Golongan orang muslim yang ragu akan kehujjahan suatu hadits dan menolak
mengakui sebagai sumber hukum islam yang kedua.
[137]
yaitu
golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan, golongan yang menolak sunnah
selain yang sesuai dengan petunjuk al-Quran, golongan yang menolak sunnah yang
ahad dan hanya menerima sunnah yang mutawatir.
[138]Abu Zahrah dalam kitab al-Syari’.
[139]Menurut Al-Khudhari Bek (guru
sejarah hukum islam di Egyptian University).
[140]Masfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu
Hadis, Surabaya : Bina Ilmu. 1993. Halaman 34-35.
[141]Ibid, 36.
[142]Menurut al-Syafi’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar