RESUME SOSIOLOGI
PENDIDIKAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
“ Sosiologi Pendidikan “
Dosen Pengampu :
Ahmad Taufiq S. Ag M. Si
Disusun Oleh :
ADISSTYA MAULANA
(9321.204.10)
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
(
STAIN ) KEDIRI
2013
BAB I
MEMAHAMI SOSIOLOGI PENDIDIKAN
MEMAHAMI SOSIOLOGI PENDIDIKAN
A. Sosiologi Pendidikan.
Sosiologi
terhadap pendidikan dirintis oleh Durkheim
dan Weber dan dilanjutkan para murid
mereka. Pengembangan pendidikan yang berparadigma sosial dimulai oleh tokoh –
tokoh dari dunia pendidikan dari Amerika Serikat dan juga dari Negara Eropa. Di
Indonesia sendiri kajian sosiologi dan sosiologi pendidikan sudah cukup lama
diperkenalkan yaitu melalui mata kuliah pada mahasiswa kependidikan di
perguruan tinggi dengan tujuan agar mahasiswa mempunyai visi dan misi serta
kemampuan melihat proses pendidikan secara sosiologis.
Kajian dan analisis terhadap
keterkaitan fenomena sosial dalam proses pendidikan penting untuk diketahui, di
informasikan dan digunakan dalam pengambilan keputusan, kebijakan maupun
strategi dalam praktik pendidikan terkait dengan fungsi sosiologi pendidikan
yaitu menyediakan visi, pemahaman dan kemampuan terhadap proses pendidikan, dan
kemampuan bekerja dalam pendidikan dengan memanfaatkan dinamika struktural dan
proses sosial terkait dengan proses pendidikan, dikarenakan kehidupan sosial
baik dalam maupun luar lembaga pendidikan mempunyai andil yang besar terhadap
proses dan hasil-hasil pendidikan.
Adanya sosiologi pendidikan bisa
membantu memberi bahan yang berharga dalam rangka melihat proses pendidikan
dengan berbagai masalah dan implikasi yang di timbulkan. Dalam hal ini
sosiologi membantu meningkatkan kepekaan dalam melihat nilai-nilai melihat
nilai-nilai, institusi, budaya, dan kecenderungan yang ada dimasyarakat.
Sosiologi pendidikan juga memberi jalan kepekaan untuk melihat nilai-nilai,
institusi, budaya, dan kecenderungan lainya yang terjadi didalam dunia
pendidikan. Selain itu, sosiologi pendidikan dapat membantu memahami
perencanaan, proses implementasi, dan implikasi penerapan program manapun
kebijakan pendidikan tertentu.
Pengembangan pendidikan seharusnya
dilandasi konsep dan teori sosial, alasannya; pertama pendidikan mau tidak mau
harus bisa menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang
berubah menuju masyarakat berbasis pengetahuan itu. Kedua, praktisi pendidikan
dapat merumuskan cara menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia
yangberubah di satu pihak, namun di lain pihak dunia pendidikan tidak mengalami
distorsi dan disorientasi. Dan alasan yang ketiga adalah pendidikan memerlukan
perangkat pisau analisa sosiologis, karena ia bukan sekedar mesin atau
tekhnologi pembelajaran ansich.
Dengan bantuan perspektif sosiologis, sekolah dan guru akan dapat memahami
lingkungan sosial, proses-proses sosial seperti terjadinya konflik, integrasi,
pelapisan dan proses sosialisasi. Sosiologi akan membantu meningkatkan kepekaan
budaya sehingga memungkinkan praktisi pendidikan mampu mengelola pembelajaran
berbasis multikultural, melakukan antisipasi terhadap dampak budaya global dan
arus informasi yang tanpa batas.
B. Perkembangan
Perspektif Sosiologi Pendidikan.
Pada sosiologi pendidikan terdapat berbagai perspektif, diantaranya adalah perspektif
yang berdimensi kajian makro (kajian pendekatan obyektif) dan perspektif yang
berdimensi kajian mikro (kajian pendekatan subektif). Jika kita bisa memahami apa yang terjadi di lingkungan sekitar,
maka besar kita peluang untuk dapat mengendalikan perubahan masyarakat. Dalam
hal ini sosiologi membantu kita meningkatkan kepekaan dalam melihat
nilai-nilai, institusi, budaya dan kecendurungan yang ada di masyarakat. Atas
dasar pemikiran seperti itu maka sosiologi pendidikan memberi jalan dalam dunia
pendidikan, termasuk di dalamnya membantu melihat pendidikan dan relasinya
dengan masyarakat.
Sosiologi pendidikan dapat membantu
memahami perencanaan, proses implementasi dan implikasi penerapan program
maupun kebijakan pendidikan tertentu. Sebagaimana peran sosiologi pada umumnya,
maka sosiologi pendidikan juga memberikan sumbangan pencerahan, menawarkan
kepada setiap orang maupun kelompok mana saja yang tengah berusaha melakukan
perubahan dalam menyelenggarakan proses pendidikan.[1]
BAB II
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL
A. Pendidikan dalam Teori dan Pandangan Tokoh
Fungsionalis.
Perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat berdampak pada lembaga – lembaga pendidikan
sehingga memunculkan ketidaksamaan dalam sistem pendidikan formal. Ketidaksamaan
tersebut oleh sebagian orang dianggap penyebabnya adalah perbedaan individu.
Namun, penelitian membuktikan bahwa ada penyebab lain yang terlibat di
dalamnya. Untuk dapat menganalisis hal tersebut, terdapat beberapa teori
sosiologi yang berusaha menerangkan fenomena tersebut, diantaranya teori yang
berada pada paradigma fakta sosial, seperti teori fungsional dan teori konflik.
Menurut
teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur
yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga memiliki
kompleksitas yang berbeda-beda, hal ini ada pada setiap masyarakat. Misalnya,
lembaga sekolah, lembaga keagamaan, lembaga keluarga, lembaga politik, lembaga
ekonomi dan lain sebagainya.
Para penganut struktural fungsional
percaya bahwa masyarakat cenderung bergerak menuju ekuilibrium dan mengarah
kepada terciptanya tertib sosial. Mereka memandang masyarakat seperti tubuh
manusia, sehingga masyarakat dipandang sebagai institusi yang bekerja seperti
organ tubuh manusia.[2]
Sosiologi merupakan proses yang
dapat dijadikan tempat pembelajaran bagi generasi muda untuk mendapatkan
pengetahuan, perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang mereka perlukan
agar bisa tampil sebagai bagian dari warga Negara yang produktif. Perspektif
struktural fungsional memang mengarahkan fokus kajian pendidikan terhadap
urusan nilai-nilai dan budaya, sosialisasi, stratifikasi, perubahan,
pelembagaan, konflik dan kohesi sosial, aksi dan interaksi serta pola-pola
relasi. Pendidikan dengan demikian harus diperankan sebagai penjaga nilai-nilai
sosial dan institusi penegak tertib sosial.[3]
Comte yang menelorkan filsafat
positivistik ini memiliki pandangan bahwa pengetahuan dan masyarakat dalam
proses transisi secara evolusi. Evolusi menuju tertib sosial baru, ditempuh
melalui hukum tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap
positif, yakni sebuah sebab atau awal dan akhir dari suatu fenomena dan semesta
ini. Comte percaya bahwa masyarakat selalu tumbuh berkembang melalui tiga
tahap, sesuai dengan perbedaan tingkat kompleksitas yang dimiliki masyarakat
itu sendiri. Supremasi pengetahuan alam yang memakai hukum positif seperti
matematika, astronomi, fisika dan biologi akan berlaku juga dalam politik dan
titik kulminasinya berada dalam sosiologi. Oleh karena itulah, dalam karyanya,
Comte banyak menghubungkan teori sosial dengan biologi.[4]
B.
Tokoh
Perspektif Fungsional Auguste Comte.
Ia lahir tahun 1798 di kota
Monpellier Perancis Selatan. Karya terpenting dari Comte antara lain adalah The
Positive Philosophy. Dalam memahami krisis, Comte berpendapat harus melalui
pedoman-pedoman berpikir ilmiah. Ia kemudian dikenal sebagai pencetus
perspektif pengetahuan positivism atau filsafat positivistic, sebagai bentuk
perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir yang melandasi para filosof
pencerahan. Teori evolusi inilah yang kemudian mendorong lahirnya hukum tiga
tahap perkembangan, dan ia percaya semua ilmu pengetahuan melampaui ketiga
tahap tersebut sesuai dengan kompleksitas mereka masing-masing. Ketiga tahap
pengetahuan yang dimaksud Comte adalah: a) tahap teologis, dalam tahap
ini masyarakat percaya akan kekuatan supernatural, dan agama di atas
segala-galanya; b) tahap metafisika, dalam tahap ini masyarakat
berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan personifikasi Tuhan adalah sumber
kekuatan fisik maupun sosial. Dengan kata lain, dalam mencoba menjelaskan
berbagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi
dengan kekuatan akal-budinya sehingga diperoleh pengertian-pengertian
metafisis; c) tahap positif, pada akhirnya perkembangan masyarakat
memasuki tahap positivistic, tahap masyarakat mempercayai pengetahuan
ilmiah dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk menemukan
keteraturan dunia fisik maupun sosial.[5]
Pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan
hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode
empirik. Manusia tumbuh menjadi kekuatan yang mampu menggunakan akal-budinya
untuk menemukan pengetahuan baru.
C.
Emile Durkheim.
Fakta sosial di mata Durkheim adalah
cara bertindak yang memiliki ciri-ciri gejala empiric yang terukur, eksternal,
menyebar dan menekan (Coercive). Durkheim membedakan dua jenis fakta
sosial material- dan non-material.
Fakta Sosial Menurut Durkheim
MATERIAL
|
NON-MATERIAL
|
1. Masyarakat
2. Komponen Struktural
3. Komponen Morphologi sosial
|
1. Moral, nilai, norma
2. Kesadaran Kolektif
3. Representasi Kolektif
4. Social Currents
|
Dua Ideal Tipe Masyarakat Menurut Durkheim[6]
Penanda
|
Solidaritas Mekanik
|
Solidaritas Organik
|
Masyarakat
|
Tradisional
|
Modern
|
Pembagian Kerja
|
Rendah, Generalisasi
|
Spesialisasi
|
Sifat Hukum
|
Represif
|
Restitutif
|
Kesadaran Kolektif
|
Tinggi
|
Rendah
|
Aksentuasi
|
Persamaan Kolektif
|
Perbedaan Individu
|
D.
Desain Pembelajaran
Dalam Perspektif Fungsionalis.
a.
Kurikulum.
Kurikulum di
sekolah harus menyesuaikan dengan pendidikan yaitu untuk menghantarkan
keberhasilan siswa menjalankan proses transmisi dan sosialisasi nilai
masyarakatnya. Karakteristik khusus dari isi kurikulum akan tidak memiliki
relevansi kecuali kurikulum didesain sehingga memiliki kesesuaian dengan
pernyataan Durkheim berikut: “Manusia terdidik haruslah menyadari bahwa kita
bukan manusia sebagaimana yang alam berikan, tetapi kita adalah manusia
sebagaimana masyarakat menghendaki”.
b.
Peranan Guru.
1)
Mendorong
kesetiaan dan tanggung jawab siswa ketika hidup dalam lingkungan kelompoknya.
2)
Memperkuat
kesadaran siswa dalam membangun kesetiaannya terhadap cita-cita dan nilai-nilai
kelompok, bersedia mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi
atau keluarga.
3) Tugas Murid
Ciri penganut fungsionalis memandang
siswa seperti kotak kosong, kertas putih. Mereka menunggu diisi oleh guru atau
para agen masyarakat. Siswa dihadapi dengan teori tabula rasa. Siswa diarahkan
untuk menemukan karakter baru. Siswa yang terlahir egoistic, a-sosial, melalui
kerja pendidikan, mereka di ubah secepat mungkin agar menjadi manusia bermoral
dan berkesadaran hidup bersama yang tinggi.
E.
Pendidikan
Dalam Perspektif Struktural Konflik.
1. Karl Marx Dan Teori
Konflik.
Pikiran awal Marx amat dipengaruhi
munculnya industrialisasi abad ke-19, yang telah melahirkan fenomena yang
bertolak belakang antara buruh yang hidup menderita dan sengsara di satu pihak
dan pemilik alat-alat produksi yang menikmati surplus yang disumbangkan oleh
keringat dan tenaga yang dikeluarkan oleh kaum buruh di lain pihak. Untuk
membangun kehidupan yang didasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi,
sistem kapitalis harus diubah menjadi sistem sosialis, dan pada gilirannya
dimaksudkan untuk membentuk masyarakat komunis. Atas dasar itulah Marx mengajak
untuk melakukan revolusi. Marx yakin meski dengan cara radikal, revolusi itu
tidak akan sampai menumpahkan darah. Perubahan menuju sosialisme dengan
demikian bisa dilakukan dengan jalan damai.[7]
Teori konflik yang berakar dari Marx
dibangun atas dasar asumsi-asumsi bahwa (a) Perubahan merupakan gejala yang
melekat pada setiap masyarakat, (b) Konflik adalah gejala yang selalu melekat
di dalam setiap masyarakat, (c) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan
sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial, (d) Setiap
masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi yang dilakukan oleh
sejumlah orang terhadap sejumlah orang lainnya.
Masyarakat, menurut Marx, terdiri atas kekuatan yang mendorong
perubahan sosial sebagai konsekuensi dari ketegangan dan perjuangan hidup.
Perjuangan dan bukannya perkembangan
damai merupakan mesin perubahan ke arah kemajuan; konflik adalah induk
segala-galanya; oleh karenanya konflik sosial merupakan inti dari proses
sejarah. Menurut Marx, kekuatan motivasi dalam sejarah adalah hal-hal yang
menempatkan manusia berhubungan dengan orang lain dalam perjuangan terus menerus
untuk memenangkan pertarungannya dengan alam.
Perjuangan manusia menundukkan alam
bukan berhenti ketika kebutuhan pokok terpenuhi. Manusia merupakan binatang
yang tak pernah puas. Ketika kebutuhan primer telah tercukupi, maka kemudian
manusia terdorong untuk memunculkan kebutuhan baru, dan pemenuhan baru itu
kemudian menjadi titik awal gerakan sejarah. Kebutuhan bar uterus berkembang,
ketika sarana-sarananya terpenuhi dan memungkinkannya menutup
kebutuhan-kebutuhan yang terdahulu.[8]
2.
Pendidikan
Kritis.
Teori kritis/Neo-Marxis dan
implikasinya terhadap pendidikan; (1) Masyarakat: a) Opresi, hegemoni klas dan
ideologi dominan (penguasa, pemilik modal). (2) Pendidikan; a) Pendidikan
sebagai alat mempertahankan opresi dan hegemoni, (b) Pendidikan milik pemilik
modal/kaum elite, (c) Dikendalikan oleh agenda dan kurikulum terselubung (hidden
curriculum). (3) Prioritas kebijakan: a) Menghentikan opresi melalui
pemberdayaan kemampuan. (4) Strategi perencanaan: a) Reformasi kurikulum, (b) Enquiry
secara kritis
BAB III
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
A.
Tokoh
Perspektif Konstruksionis.
Paradigma konstruktivistik
menekankan pada pemahaman (understanding) dan menghapus misunderstanding,
serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa.
Proses strategis yang dilakukan dimulai dari cara pemikiran deduktif dan
digabungkan dengan pemikiran induktif. Dengan demikian siswa mengetahui
prinsip-prinsip yang mendasari suatu fakta atau data lapangan yang dijumpai,
yang fakta atau data itu diolah melalui proses induktif. Namun demikian, guru
dalam hal ini didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman
siswa yang telah dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran.
1.
Max Weber.
Ia lahir di Erfurt, Jerman, 21 April
1864 – dari keluarga klas menengah, anak dari seorang pejabat penting. ia
mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mengusahakan pemahaman interpretatif
mengenai tindakan sosial atau yang dikenal dengan pendekatan verstehen agar
dengan cara itu dapat menghasilkan sebuah penjelasan kausal mengenai tindakan
sosial dan akibat-akibatnya.[9] Tentang
kapitalisme, Weber merinci ciri-ciri dari sistem kapitalisme sebagai berikut :
1.
Adanya
usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional berdasarkan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan serta berkembangnya pemilikan/pemilikan pribadi;
2.
Berkembangnya
produksi untuk pasar;
3.
Produksi untuk
massa dan melalui massa;
4.
Produksi untuk
uang; dan
Adanya antusiasme, etos dan
efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada panggilan
kerja.
Daftar Pustaka
Roland Meighan dan
Clive Harber, A sociology of Educating,
United States: Holt, Renehart and Winston Ltd., ed. 5, 2007, hal 5-6.
Bessant, J. and Watts,
R. Sociology Australia, Second Edition,
(Sydney: Allen & Unwin, 2002).
L. Munro, “Education”
in Stafford, C. and Furze, B. (eds) Society and Change, Second Edition,
Macmillan 1997
Education
Australia, : http://www.boardofstudies.nsw.edu.au
[Accessed 2013, juni 28]
Lihat Gibson Burrell dan Gareth Morgan, Sociological
Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate
Life (Portsmouth-New Hampshire: Heinemann, 1985), hal. 41-42.
Lihat George Ritzer, Sociological
Theory (New York: Mc Graw Hill, 1996), hal. 13-14.
Diolah dari Robert MZ.
Lawang, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka,
1985), hal. 75.
Lihat George Ritzer, Sociological
Theory (New York: McGraw-Hill Company, 1996), hal. 43.
Lewis Coser, Master of
sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context (San
Diego-Toronto: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1977), hal. 43.
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial
Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.201.
[1] Roland Meighan
dan Clive Harber, A sociology of
Educating, United States: Holt, Renehart and Winston Ltd., ed. 5, 2007, hal
5-6.
[2] Bessant, J. and
Watts, R. Sociology Australia, Second
Edition, (Sydney: Allen & Unwin, 2002).
[3] L. Munro,
“Education” in Stafford, C. and Furze, B. (eds) Society and Change, Second
Edition, Macmillan 1997
[4] Lihat Gibson Burrell dan Gareth Morgan, Sociological
Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate
Life (Portsmouth-New Hampshire: Heinemann, 1985), hal. 41-42.
[5] Lihat George Ritzer, Sociological Theory
(New York: Mc Graw Hill, 1996), hal. 13-14.
[6] Diolah
dari Robert MZ. Lawang, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Karunika
Universitas Terbuka, 1985), hal. 75.
[8] Lewis Coser, Master of sociological Thought:
Ideas in Historical and Social Context (San Diego-Toronto: Harcourt Brace
Jovanovich Publishers, 1977), hal. 43.
[9] Tom Campbell, Tujuh
Teori Sosial Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
hal.201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar