Rabu, 30 Desember 2015

iman kepada qodho dan qodar, qodho, ketentuan allah, ketetapan alloh, takdir allah, rukun iman ke 6, iman

macam-macam sujud, sujud syukur, syujud sahwi, sujud tilawah, sujud di dalam sholat, sujud di sholat,

sejarah perkembanan islam di nusantara

sejarah dan peradaban islam

haji dan umrah

aqidah akhlak sma kelas x semester 1

RESUME SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
“ Sosiologi Pendidikan “

Dosen Pengampu :
Ahmad Taufiq S. Ag M. Si
Description: Description: logo stain




      





Disusun Oleh :
    ADISSTYA MAULANA
(9321.204.10)
                                   
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
( STAIN ) KEDIRI
2013
 


BAB I
MEMAHAMI SOSIOLOGI PENDIDIKAN

A.    Sosiologi Pendidikan.
Sosiologi terhadap pendidikan dirintis oleh Durkheim dan Weber dan dilanjutkan para murid mereka. Pengembangan pendidikan yang berparadigma sosial dimulai oleh tokoh – tokoh dari dunia pendidikan dari Amerika Serikat dan juga dari Negara Eropa. Di Indonesia sendiri kajian sosiologi dan sosiologi pendidikan sudah cukup lama diperkenalkan yaitu melalui mata kuliah pada mahasiswa kependidikan di perguruan tinggi dengan tujuan agar mahasiswa mempunyai visi dan misi serta kemampuan melihat proses pendidikan secara sosiologis.
Kajian dan analisis terhadap keterkaitan fenomena sosial dalam proses pendidikan penting untuk diketahui, di informasikan dan digunakan dalam pengambilan keputusan, kebijakan maupun strategi dalam praktik pendidikan terkait dengan fungsi sosiologi pendidikan yaitu menyediakan visi, pemahaman dan kemampuan terhadap proses pendidikan, dan kemampuan bekerja dalam pendidikan dengan memanfaatkan dinamika struktural dan proses sosial terkait dengan proses pendidikan, dikarenakan kehidupan sosial baik dalam maupun luar lembaga pendidikan mempunyai andil yang besar terhadap proses dan hasil-hasil pendidikan.
Adanya sosiologi pendidikan bisa membantu memberi bahan yang berharga dalam rangka melihat proses pendidikan dengan berbagai masalah dan implikasi yang di timbulkan. Dalam hal ini sosiologi membantu meningkatkan kepekaan dalam melihat nilai-nilai melihat nilai-nilai, institusi, budaya, dan kecenderungan yang ada dimasyarakat. Sosiologi pendidikan juga memberi jalan kepekaan untuk melihat nilai-nilai, institusi, budaya, dan kecenderungan lainya yang terjadi didalam dunia pendidikan.  Selain itu, sosiologi pendidikan dapat membantu memahami perencanaan, proses implementasi, dan implikasi penerapan program manapun kebijakan pendidikan tertentu.
Pengembangan pendidikan seharusnya dilandasi konsep dan teori sosial, alasannya; pertama pendidikan mau tidak mau harus bisa menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang berubah menuju masyarakat berbasis pengetahuan itu. Kedua, praktisi pendidikan dapat merumuskan cara menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia yangberubah di satu pihak, namun di lain pihak dunia pendidikan tidak mengalami distorsi dan disorientasi. Dan alasan yang ketiga adalah pendidikan memerlukan perangkat pisau analisa sosiologis, karena ia bukan sekedar mesin atau tekhnologi pembelajaran ansich. Dengan bantuan perspektif sosiologis, sekolah dan guru akan dapat memahami lingkungan sosial, proses-proses sosial seperti terjadinya konflik, integrasi, pelapisan dan proses sosialisasi. Sosiologi akan membantu meningkatkan kepekaan budaya sehingga memungkinkan praktisi pendidikan mampu mengelola pembelajaran berbasis multikultural, melakukan antisipasi terhadap dampak budaya global dan arus informasi yang tanpa batas.

B.  Perkembangan Perspektif Sosiologi Pendidikan.
Pada sosiologi pendidikan terdapat berbagai perspektif, diantaranya adalah perspektif yang berdimensi kajian makro (kajian pendekatan obyektif) dan perspektif yang berdimensi kajian mikro (kajian pendekatan subektif). Jika kita bisa memahami apa yang terjadi di lingkungan sekitar, maka besar kita peluang untuk dapat mengendalikan perubahan masyarakat. Dalam hal ini sosiologi membantu kita meningkatkan kepekaan dalam melihat nilai-nilai, institusi, budaya dan kecendurungan yang ada di masyarakat. Atas dasar pemikiran seperti itu maka sosiologi pendidikan memberi jalan dalam dunia pendidikan, termasuk di dalamnya membantu melihat pendidikan dan relasinya dengan masyarakat.
Sosiologi pendidikan dapat membantu memahami perencanaan, proses implementasi dan implikasi penerapan program maupun kebijakan pendidikan tertentu. Sebagaimana peran sosiologi pada umumnya, maka sosiologi pendidikan juga memberikan sumbangan pencerahan, menawarkan kepada setiap orang maupun kelompok mana saja yang tengah berusaha melakukan perubahan dalam menyelenggarakan proses pendidikan.[1]

BAB II
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL
A.  Pendidikan dalam Teori dan Pandangan Tokoh Fungsionalis.
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat berdampak pada lembaga – lembaga pendidikan sehingga memunculkan ketidaksamaan dalam sistem pendidikan formal. Ketidaksamaan tersebut oleh sebagian orang dianggap penyebabnya adalah perbedaan individu. Namun, penelitian membuktikan bahwa ada penyebab lain yang terlibat di dalamnya. Untuk dapat menganalisis hal tersebut, terdapat beberapa teori sosiologi yang berusaha menerangkan fenomena tersebut, diantaranya teori yang berada pada paradigma fakta sosial, seperti teori fungsional dan teori konflik.
Menurut teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga memiliki kompleksitas yang berbeda-beda, hal ini ada pada setiap masyarakat. Misalnya, lembaga sekolah, lembaga keagamaan, lembaga keluarga, lembaga politik, lembaga ekonomi dan lain sebagainya.
Para penganut struktural fungsional percaya bahwa masyarakat cenderung bergerak menuju ekuilibrium dan mengarah kepada terciptanya tertib sosial. Mereka memandang masyarakat seperti tubuh manusia, sehingga masyarakat dipandang sebagai institusi yang bekerja seperti organ tubuh manusia.[2]
Sosiologi merupakan proses yang dapat dijadikan tempat pembelajaran bagi generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang mereka perlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari warga Negara yang produktif. Perspektif struktural fungsional memang mengarahkan fokus kajian pendidikan terhadap urusan nilai-nilai dan budaya, sosialisasi, stratifikasi, perubahan, pelembagaan, konflik dan kohesi sosial, aksi dan interaksi serta pola-pola relasi. Pendidikan dengan demikian harus diperankan sebagai penjaga nilai-nilai sosial dan institusi penegak tertib sosial.[3]
Comte yang menelorkan filsafat positivistik ini memiliki pandangan bahwa pengetahuan dan masyarakat dalam proses transisi secara evolusi. Evolusi menuju tertib sosial baru, ditempuh melalui hukum tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif, yakni sebuah sebab atau awal dan akhir dari suatu fenomena dan semesta ini. Comte percaya bahwa masyarakat selalu tumbuh berkembang melalui tiga tahap, sesuai dengan perbedaan tingkat kompleksitas yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Supremasi pengetahuan alam yang memakai hukum positif seperti matematika, astronomi, fisika dan biologi akan berlaku juga dalam politik dan titik kulminasinya berada dalam sosiologi. Oleh karena itulah, dalam karyanya, Comte banyak menghubungkan teori sosial dengan biologi.[4]

B.  Tokoh Perspektif Fungsional Auguste Comte.
Ia lahir tahun 1798 di kota Monpellier Perancis Selatan. Karya terpenting dari Comte antara lain adalah The Positive Philosophy. Dalam memahami krisis, Comte berpendapat harus melalui pedoman-pedoman berpikir ilmiah. Ia kemudian dikenal sebagai pencetus perspektif pengetahuan positivism atau filsafat positivistic, sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir yang melandasi para filosof pencerahan. Teori evolusi inilah yang kemudian mendorong lahirnya hukum tiga tahap perkembangan, dan ia percaya semua ilmu pengetahuan melampaui ketiga tahap tersebut sesuai dengan kompleksitas mereka masing-masing. Ketiga tahap pengetahuan yang dimaksud Comte adalah: a) tahap teologis, dalam tahap ini masyarakat percaya akan kekuatan supernatural, dan agama di atas segala-galanya; b) tahap metafisika, dalam tahap ini masyarakat berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan personifikasi Tuhan adalah sumber kekuatan fisik maupun sosial. Dengan kata lain, dalam mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal-budinya sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis; c) tahap positif, pada akhirnya perkembangan masyarakat memasuki tahap positivistic, tahap masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.[5] Pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode empirik. Manusia tumbuh menjadi kekuatan yang mampu menggunakan akal-budinya untuk menemukan pengetahuan baru.

C.  Emile Durkheim.
Fakta sosial di mata Durkheim adalah cara bertindak yang memiliki ciri-ciri gejala empiric yang terukur, eksternal, menyebar dan menekan (Coercive). Durkheim membedakan dua jenis fakta sosial material- dan non-material.

Fakta Sosial Menurut Durkheim
MATERIAL
NON-MATERIAL
1. Masyarakat
2. Komponen Struktural
3. Komponen Morphologi sosial
1. Moral, nilai, norma
2. Kesadaran Kolektif
3. Representasi Kolektif
4. Social Currents

Dua Ideal Tipe Masyarakat Menurut Durkheim[6]
Penanda
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
Masyarakat
Tradisional
Modern
Pembagian Kerja
Rendah, Generalisasi
Spesialisasi
Sifat Hukum
Represif
Restitutif
Kesadaran Kolektif
Tinggi
Rendah
Aksentuasi
Persamaan Kolektif
Perbedaan Individu

D.  Desain Pembelajaran Dalam Perspektif Fungsionalis.
a.      Kurikulum.
            Kurikulum di sekolah harus menyesuaikan dengan pendidikan yaitu untuk menghantarkan keberhasilan siswa menjalankan proses transmisi dan sosialisasi nilai masyarakatnya. Karakteristik khusus dari isi kurikulum akan tidak memiliki relevansi kecuali kurikulum didesain sehingga memiliki kesesuaian dengan pernyataan Durkheim berikut: “Manusia terdidik haruslah menyadari bahwa kita bukan manusia sebagaimana yang alam berikan, tetapi kita adalah manusia sebagaimana masyarakat menghendaki”.
b.       Peranan Guru.
1)      Mendorong kesetiaan dan tanggung jawab siswa ketika hidup dalam lingkungan kelompoknya.
2)      Memperkuat kesadaran siswa dalam membangun kesetiaannya terhadap cita-cita dan nilai-nilai kelompok, bersedia mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi atau keluarga.
3)      Tugas Murid
Ciri penganut fungsionalis memandang siswa seperti kotak kosong, kertas putih. Mereka menunggu diisi oleh guru atau para agen masyarakat. Siswa dihadapi dengan teori tabula rasa. Siswa diarahkan untuk menemukan karakter baru. Siswa yang terlahir egoistic, a-sosial, melalui kerja pendidikan, mereka di ubah secepat mungkin agar menjadi manusia bermoral dan berkesadaran hidup bersama yang tinggi.

E.  Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik.
1.  Karl Marx Dan Teori Konflik.
            Pikiran awal Marx amat dipengaruhi munculnya industrialisasi abad ke-19, yang telah melahirkan fenomena yang bertolak belakang antara buruh yang hidup menderita dan sengsara di satu pihak dan pemilik alat-alat produksi yang menikmati surplus yang disumbangkan oleh keringat dan tenaga yang dikeluarkan oleh kaum buruh di lain pihak. Untuk membangun kehidupan yang didasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, sistem kapitalis harus diubah menjadi sistem sosialis, dan pada gilirannya dimaksudkan untuk membentuk masyarakat komunis. Atas dasar itulah Marx mengajak untuk melakukan revolusi. Marx yakin meski dengan cara radikal, revolusi itu tidak akan sampai menumpahkan darah. Perubahan menuju sosialisme dengan demikian bisa dilakukan dengan jalan damai.[7]
            Teori konflik yang berakar dari Marx dibangun atas dasar asumsi-asumsi bahwa (a) Perubahan merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat, (b) Konflik adalah gejala yang selalu melekat di dalam setiap masyarakat, (c) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial, (d) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi yang dilakukan oleh sejumlah orang terhadap sejumlah orang lainnya.
Masyarakat, menurut Marx, terdiri atas kekuatan yang mendorong perubahan sosial sebagai konsekuensi dari ketegangan dan perjuangan hidup.
Perjuangan dan bukannya perkembangan damai merupakan mesin perubahan ke arah kemajuan; konflik adalah induk segala-galanya; oleh karenanya konflik sosial merupakan inti dari proses sejarah. Menurut Marx, kekuatan motivasi dalam sejarah adalah hal-hal yang menempatkan manusia berhubungan dengan orang lain dalam perjuangan terus menerus untuk memenangkan pertarungannya dengan alam.
Perjuangan manusia menundukkan alam bukan berhenti ketika kebutuhan pokok terpenuhi. Manusia merupakan binatang yang tak pernah puas. Ketika kebutuhan primer telah tercukupi, maka kemudian manusia terdorong untuk memunculkan kebutuhan baru, dan pemenuhan baru itu kemudian menjadi titik awal gerakan sejarah. Kebutuhan bar uterus berkembang, ketika sarana-sarananya terpenuhi dan memungkinkannya menutup kebutuhan-kebutuhan yang terdahulu.[8]


2.    Pendidikan Kritis.
            Teori kritis/Neo-Marxis dan implikasinya terhadap pendidikan; (1) Masyarakat: a) Opresi, hegemoni klas dan ideologi dominan (penguasa, pemilik modal). (2) Pendidikan; a) Pendidikan sebagai alat mempertahankan opresi dan hegemoni, (b) Pendidikan milik pemilik modal/kaum elite, (c) Dikendalikan oleh agenda dan kurikulum terselubung (hidden curriculum). (3) Prioritas kebijakan: a) Menghentikan opresi melalui pemberdayaan kemampuan. (4) Strategi perencanaan: a) Reformasi kurikulum, (b) Enquiry secara kritis
















BAB III
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
A.  Tokoh Perspektif Konstruksionis.
Paradigma konstruktivistik menekankan pada pemahaman (understanding) dan menghapus misunderstanding, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa. Proses strategis yang dilakukan dimulai dari cara pemikiran deduktif dan digabungkan dengan pemikiran induktif. Dengan demikian siswa mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari suatu fakta atau data lapangan yang dijumpai, yang fakta atau data itu diolah melalui proses induktif. Namun demikian, guru dalam hal ini didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa yang telah dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran.
1.    Max Weber.
Ia lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 – dari keluarga klas menengah, anak dari seorang pejabat penting. ia mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mengusahakan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial atau yang dikenal dengan pendekatan verstehen agar dengan cara itu dapat menghasilkan sebuah penjelasan kausal mengenai tindakan sosial dan akibat-akibatnya.[9] Tentang kapitalisme, Weber merinci ciri-ciri dari sistem kapitalisme sebagai berikut :
1.      Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan serta berkembangnya pemilikan/pemilikan pribadi;
2.      Berkembangnya produksi untuk pasar;
3.      Produksi untuk massa dan melalui massa;
4.      Produksi untuk uang; dan
Adanya antusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada panggilan kerja.

Daftar Pustaka
Roland Meighan dan Clive Harber, A sociology of Educating, United States: Holt, Renehart and Winston Ltd., ed. 5, 2007, hal 5-6.
Bessant, J. and Watts, R. Sociology Australia, Second Edition, (Sydney: Allen & Unwin, 2002).
L. Munro, “Education” in Stafford, C. and Furze, B. (eds) Society and Change, Second Edition, Macmillan 1997
Education Australia, : http://www.boardofstudies.nsw.edu.au [Accessed 2013, juni 28]
 Lihat Gibson Burrell dan Gareth Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life (Portsmouth-New Hampshire: Heinemann, 1985), hal. 41-42.
Lihat George Ritzer, Sociological Theory (New York: Mc Graw Hill, 1996), hal. 13-14.
Diolah dari Robert MZ. Lawang, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1985), hal. 75.
Lihat George Ritzer, Sociological Theory (New York: McGraw-Hill Company, 1996), hal. 43.
Lewis Coser, Master of sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context (San Diego-Toronto: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1977), hal. 43.
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.201.








[1] Roland Meighan dan Clive Harber, A sociology of Educating, United States: Holt, Renehart and Winston Ltd., ed. 5, 2007, hal 5-6.
[2] Bessant, J. and Watts, R. Sociology Australia, Second Edition, (Sydney: Allen & Unwin, 2002).
[3] L. Munro, “Education” in Stafford, C. and Furze, B. (eds) Society and Change, Second Edition, Macmillan 1997
Education Australia, : http://www.boardofstudies.nsw.edu.au [Accessed 2013, juni 28]
[4]  Lihat Gibson Burrell dan Gareth Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life (Portsmouth-New Hampshire: Heinemann, 1985), hal. 41-42.
[5]  Lihat George Ritzer, Sociological Theory (New York: Mc Graw Hill, 1996), hal. 13-14.
[6]  Diolah dari Robert MZ. Lawang, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1985), hal. 75.
[7]  Lihat George Ritzer, Sociological Theory (New York: McGraw-Hill Company, 1996), hal. 43.
[8]  Lewis Coser, Master of sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context (San Diego-Toronto: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1977), hal. 43.
[9]  Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.201.