INKAR AL-SUNNAH
Makalah dibuat untuk
memenuhi tugas kuliah Studi Hadits
Dosen Matakuliah :
Wahidul Anam, M.Ag
Disusun oleh:
Siti Nurul Hasanah
NIM :
932111114
Kelas / kelompok :
C / 7
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KEDIRI
TAHUN AJARAN 2014
KATA PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Puji syukur kami haturkan
kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan petunjuk-Nya kepada kami
semua, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Inkar
al-Sunnah” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam senantiasa kami sampaikan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menginspirasi kami dengan
segala suri tauladannya. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Studi Hadits yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, dan orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas
kami.
Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman
umumnya. Penulis menyadari bahwa jika melihat kekurangan dari makalah ini, maka
akan banyak celah baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain di waktu mendatang.
Kediri, 14 September 2014
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inkar Al-Sunnah......................................................................... 2
B.
Sikap Golongan Khawarij Terhadap Sunnah............................................. 2
C.
Sikap Golongan Mu’tazilah Terhadap Sunnah......................................... 2
D.
Sikap Golongan Syiah Terhadap Sunnah.................................................. 5
E.
Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah.................................................. 5
F.
Argumen Aqli Para Pengingkar Sunnah..................................................... 7
G.
Bukti Kelemahan Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah.................... 8
H. Kelemahan Argumen-Argumen
Aqli......................................................... 10
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada zaman Nabi SAW, umat Islam sepakat bahwa sunnah
merupakan salah satu sumber ajaran Islam di samping Al-Quran. Belum atau tidak
ada bukti sejarah yang menjelaskan pada zaman Nabi SAW ada dari kalangan umat
Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan
pada masa Khulafa’ Al-Rasyidun dan Bani Umayyah, belum terlihat secara
jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah, muncul secara jelas
sekelompok umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar
al-sunnah atau munkir al-sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari inkar al-sunnah?
2.
Bagaimana sikap golongan Khawarij terhadap sunnah?
3.
Bagaimana sikap golongan Mu’tazilah terhadap sunnah?
4.
Bagaimana sikap golongan Syiah terhadap sunnah?
5.
Apa argumen Naqli para pengingkar sunnah?
6.
Apa argumen Aqli para pengingkar sunnah?
7.
Apa bukti kelemahan argumen Naqli para pengingkar sunnah?
8.
Apa kelemahan argumen-argumen Naqli?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengertian inkar al-sunnah.
2. Menjelaskan sikap golongan Khawarij
terhadap sunnah.
3. Menjelaskan sikap golongan Mu’tazilah
terhadap sunnah.
4. Menjelaskan sikap golongan Syiah
terhadap sunnah.
5. Menjelaskan argumen naqli para
pengingkar sunnah.
6. Menjelaskan argumen aqli para
pengingkar sunnah.
7. Menjelaskan bukti kelemahan argumen
Naqli para pengingkar sunnah.
8.
Menjelaska kelemahan argumen-argumen Naqli.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Inkar al-Sunnah
Kalangan
ahli agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda-beda, sebab para ulama
memandang dari segi yang berbeda-beda pula dan membicarakannya dari segi yang
berlainan (Masyfuk Zuhdi, 1993:13).[1]
Menurut
ahli hadis, seperti yang dikutip oleh M. M. Azami (1993:14), sunnah
adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau
tingkah laku Nabi Muhammad saw baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Dengan pengertian ini, menurut mayoritas ulama, sunnah adalah sinonim dengan
hadis.
Menurut
ahli-ahli ushul fiqh, sunnah adalah sabda Nabi saw yang bukan berasal
dari Al-Quran, pekerjaan atau ketetapannya (Azami,1993:14). Sedangkan Masyfuk
Zuhdi (1993:14) memberikan definisi sunnah menurut istilah, yaitu sebagai
berikut:
Artinya: Sunnah ialah segala yang dinukilkan
dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, takrirnya atau selain itu.
Sedangkan
pengertian as-sunnah menurut bahasa, seperti dikemukakan oleh Ahmad
Wardson Munawwir (1984:716), yaitu sebagai berikut:
1. As-sunnah dengan makna jalan.
2.
As-sunnah dengan makna tabiat (watak).
3.
As-sunnah dengan
makna al-hadis.
Masyfuk
Zuhdi memberikan ta’rif as-sunnah menurut bahasa, yaitu “jalan yang
ditempuh”. Hal ini sebagaimana di dalam sabda Nabi saw:
Artinya:
“Barang siapa yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik,maka
baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan menerima pahala orang-orang yang
mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa memelopori mengerjakan
suatu perbuatan yang jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu dan
menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kata ingkar
sunnah terdiri atas dua kata, yaitu ingkar dan sunnah.
Menurut Ahmad Warson Munawwir (1984-1569), kata ingkar berasal dari kata
ankara-yunkiru-inkaaran yang berarti sulit, tidak mengakui atau
mengingkari. Anton Maulana Muhammad (1088:379) memberikan definisi ingkar
sebagai berikut: Ingkar berarti menyangkal, tidak membenarkan,tidak mengakui,
mungkar dan tidak menepati. Anton Maulana Muhammad memberikan contoh: ia berusaha
membela diri dengan mengingkari tuduhan yang diberikan kepadanya. Mengingkari
dalam pengertian di atas, berarti tidak mengakui (menyangkal).[2]
Dari
uraian di atas, jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan ingkar sunnah
adalah orang-orang yang tidak mengakui (mengingkari) akan keberadaan as-sunnah
atau al-hadis sebagai sumber hukum dalam Islam.
2.2 Sikap Golongan Khawarij Terhadap Sunnah
Golongan Khawarij memakai
sunnah dan memercayainya sebagai sumber hukum Islam, hanya saja ada
sumber-sumber yang menyebutkan bahwa mereka menolak hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah sahabat tertentu, khususnya setelah peristiwa tahkim.
As-Siba’i, seperti yang dikutip oleh M.M. Azmi (1992:42) mengemukakan bahwa
Khawarij dengan berbagai kelompoknya yang berbeda itu, sebelum terjadinya
perang saudara antar sahabat, menganggap semua sahabat Nabi dapat dipercaya,
kemudian mereka mengkafirkan Ali, Usman, para pengikut Perang Unta, dua orang
utusan perdamaian, orang-orang yang menerima keputusan perdamaian (tahkim),
dan orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua utusan perdamaian tadi.
2.3 Sikap Golongan Mu’tazilah
Terhadap Sunnah
Secara
umum para ulama salaf sepakat menempatkan akal dan ijtihad pada urutan ketiga
setelah Al-Quran dan Sunnah. Kaum Mu’tailah menyalahi kesepakatan ini dan
menempatkan akal pada peringkat pertama dalam hirarki dalil-dalil syar’i.
Alasannya karena dengan akal kita bisa memahami Al-Quran dan dalil-dalil
lainnya.[3]
Kaum
Mu’tazilah menegakkan akal yang masih belum jelas arahnya sebagai hukum. Mereka
adalah kaum yang terlalu memaksakan penggunaan akal tanpa pertimbangan yang
matang dan banyak melakukan penyimpangan terhadap hadits-hadits. Cara berpikir
mereka mengandalkan kinerja akal untuk menghakimi Al-Quran dan Sunnah
sebenarnya mengekor pada metodenya para peneliti Barat, sehingga mereka
mendapatkan piagam dan penghargaan. Sebagai timbal baliknya, para peneliti
Barat yang menganut agama Nasrani memberikan pujian terhadap semua peristiwa
sejarah yang dialami umat Islam. Di antara pujian tersebut adalah pernyataan
Stainer bahwa Mu’tazilah adalah pemikir independen Islam. Julukan ini
selanjutnya dijadikan sebagai tema sentral dalam bukunya.
Al-Nidzam
memperbolehkan mendustakan Hadits Mutawatir
karena adanya kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam hadits tersebut. Abu
Hudzail
berpendapat bahwa hujjah tidak bisa ditegakkan terhadap hal-hal yang luputdari
panca indera baik itu
berupa hadits-hadits Nabi maupun lainnya,
kecuali jika
hadits tersebut diriwayatkan oleh 20 orang dan satu atau lebih periwayatnya
termasuk ahlu jannah (orang yang dijamin masuk surga).[4]
Kaum
Mu’tazilah menolak Hadits Ahad dan mensyaratkan adanya jumlah yang banyak. Di
antara tokoh Mu’tazilah yang menolak Hadits Ahad adalah Abu Hasan. Ia mengingkari
kehujjahan hadits Ahad. Begitu juga Abu Hudzail Ali Al-Jubbai sebagaimana
dikatakan Al-Maziri dan lainnya, disebut sebagai orang yang tidak mau menerima
hadits, jika hanya diriwayatkan oleh satu rawi adil. Sebagian orang menyatakan
bahwa Al-Jubbai tidak menerima hadits kecuali jika hadits tersebut diriwayatkan
oleh empat orang.
Hadits seperti ini bisa diterima dengan syarat:
a. Hadits
tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh rawi adil lainnya.
b. Teks
hadits tersebut dikuatkan oleh teks hadits lainnya atau teksnya tidak
bertentangan dengan teks Al-Quran.
c. Hadits
tersebut diamalkan oleh sebagian sahabat.
Para
ulama Ahli Sunnah telah mengemukakan dalil-dalil mengenai kehujjahan Hadits Ahad. Berkaitan dengan hal ini, Imam
As-Syafii menulis satu bab khusus membahas masalah ini dalam Kitab Ar-Risalah.
Begitu juga Imam Al-Bukhari, beliau menulis satu bab khusus dalam Kitabnya Jami’
Al-Shahih untuk menolak pemikiran Kaum Mu’tazilah. Bab tersebut adalah bab
diperbolehkannya meriwayatkan Hadits Ahad. Bahkan hampir di semua kitab-kitab Musthalah
Al-Hadits terdapat pembahasan mengenai kehujjahan Hadits Ahad dan bantahan
terhadap orang-orang yang menolaknya.
Kesimpulan
akhir yang bisa diambil menurut batasan yang dikemukakan oleh Ibnu Bathal
adalah perlunya pengkajian mendalam terhadap Hadits Ahad, karena dikhawatirkan
rawinya lupa atau ada kekeliruan lainnya.
Saat
Kaum Mu’tazilah meriwayatkan Hadits Ahad, dalam periwayatannya mereka tidak
menggunakan redaksi yang pasti (Syiyagh Al-Jazm), tetapi menggunakan
redaksi yang lemah (Syiyagh Al-Tamrid). Penolakan mereka terhadap Hadits
Ahad berati mereka telah menolak banyak hukum-hukum syar’i, karena kebanyakan
kewajiban-kewajiban agama dan masalah-masalah syariat lainnya ditegakkan dengan
Hadits Ahad.[5]
Jika
Kaum Mu’tazilah
mendapatkan ayat-ayat Al-Quran menyalahi dasar pemikiran mereka, maka mereka
akan menta’wilnya (memberikan interpretasi lain). Jika yang menyalahi
itu hadits-hadits Nabi, maka mereka akan mengingkarinya. Dengan demikian sikap
mereka terhadap hadits seperti sikapnya orang yang meragukan otentisitasnya.
Bahkan terkadang sikap mereka seperti orang yang tidak mempercayai hadits
karena mereka menggunakan akal untuk menghukumi hadits, bukan hadits untuk
menghukumi akal.
Keputusan hukum yang diambil berdasarkan akal
dijadikannya sebagai cara untuk menentang Allah swt dan Rasulullah saw.
Kebanyakan dari Kaum Mu’tazilah adalah orang-orang yang terlalu berani kepada
Allah swt dan Rasulullah saw, karena berpedoman dengan akal.
Kaum Mu’tazilah juga mengkritik para perawi khususnya
sahabat, mengingkari Hadits Mutawatir, menolak Hadits Ahad, mengingkari dan
meragukan terhadap banyak hadits, dan mereka memalsukan hadits untukmemperkuat
pandangan bid’ah mereka. Mereka tidak memerhatikan hadits, hanya
berlindung dengan hadits. Jika terpaksa, mereka dapat saja memalsukan hadits
untuk memperkuat pikiran mereka.
2.4 Sikap Golongan Syiah Terhadap Sunnah
Sebagian besar golongan
Syiah, yang dimaksudkan di sini ialah mereka yang masih berbeda dalam
lingkungan Islam, mendiskualifikasikan (menganggap tidak cakap dan mampu)
kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, serta umumnya para sahabat yang menjadi
pengikut mereka, Muawiyah dan Amr ibnu Ash, serta sahabat lain yang terlibat
dalam perampasan kekhalifahan Ali. Lebih jauh, kaum Syiah sesungguhnya
mendiskualifikan umumnya para sahabat, kecuali beberapa orang yang dikenal
kecintaannya kepada Ali. Mereka menolak as-sunnah umumnya dari
sahabat, kecuali yang diturunkanoleh para pengikut Ali (Nurcholis Madjid,
1994:104).[6]
Jadi jelas, bahwa sejak masa lalu, umat Islam
sepakat untuk menerima hadis dan dijadikannya sebagai sumber hukum Islam yang
wajib dipatuhi. Pada masa lalu juga sudah terdapat sejumlah orang atau kelompok
yang menolak hadis, tetapi hal itu lenyap pada akhir abad ke-3. Penolakan hadis
(al-sunnah) ini muncul kembali pada abad ke-13 hijriah yang lalu, akibat
pengaruh penjajahan Barat.
2.5
Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah
Yang
dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat
Al-Quran saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadis Nabi SAW. Memang
agak ironi juga bahwa mereka yang berpaham inkar al-sunnah ternyata
telah mengajukan sunnah sebagai argumen membela paham mereka. Argumen
naqli tersebut di antaranya:
a. QS.
An-Nahl: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا
لِّكُلِّ شَيْءٍ
Artinya:
.... Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu..........
b. QS. Al-An’am:
38
مَّا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Artinya:
... Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Alkitab.........
Menurut
para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Al-Quran
telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama.[7]
Mereka juga berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berhak sama sekali untuk
menjelaskan Al-Quran kepada ummatnya. Nabi Muhammad SAW hanya bertugas menerima
wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya. Di luar hal tersebut,
Nabi Muhammad SAW tidak memiliki wewenang. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa
orang-orang yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada Rasulullah SAW. Hal
itu menurut para pengingkar sunnah hanya berlaku tatkala Rasulullah SAW
masih hidup, yakni tatkala “jabatan” sebagai ulul amri berada di tangn beliau.
Setelah beliau wafat, maka jabatan ulul amri berpindah kepada orang lain, dan
karenanya, kewajiban patuh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW
menjadi gugur.
c.
Sejumlah riwayat hadis, antara lain:
مَا اَتَاكُمْ عَنِّيْ فَاَعْرِضُوْهُ عَلَى
كِتَابِ اللهِ فَاِنْ وَافَقَ كِتَابَ اللهِ فَلَمْ اَقُلْهُ. وَاِنَّمَا اَنَا
مُوَافِقٌ كِتَابَ اللهِ وَ بِهِ هَدَانِى اللهُ
Artinya:
Apa yang datang kepadamu dari saya, maka konfirmasikanlah dengan Kitabullah;
jika sesuai dengan Kitabullah, maka hal itu berarti saya telah mengatakannya;
dan jika ternyata menyalahi Kitabullah, maka hal itu bukanlah saya yang
mengatakannya. Dan sesungguhnya saya (selalu) sejalan dengan Kitabullah dan
dengannya Allah telah memberi petunjuk kepada saya.
Menurut para pengingkar sunnah,
berdasarkan riwayat tersebut, maka yang harus dipegangi bukanlah hadis Nabi
SAW, melainkan Al-Quran. Dengan demikian menurut hadis tersebut, hadis atau sunnah
tidaklah berstatus sebagai sumber ajaran Islam.
d. Ayat-ayat
Al-Quran, di antaranya:
1). QS.
Fathir: 31
وَالَّذِىْ اَوْ حَيْنَا اِلَيْكَ مِنَ
الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ
Artinya:
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, yakni Alkitab (Al-Quran), itulah
yang benar.....
2). QS.
Yunus: 36
وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلَّا ظَنًّا
اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Artinya:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali hanya persangkaan belaka.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran.....
2.6 Argumen Aqli Para Pengingkar Sunnah
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non
naqli ialah argumen-argumen yang tidak berupa Al-Quran atau hadis-hadis
Nabi saw. Walaupun sebagian argumen-argumen itu ada yang menyinggung sisi
tertentu dari ayat Al-Quran ataupun al-hadis, tetapi karena yang
dibahasnya bukanlah ayat ataupun matan hadisnya secara khusus, maka
argumen-argumen tersebut dimasukkan ke dalam argumen-argumen non naqli.[8]
Di antara argumen non naqli yang
diungkapkan oleh pengingkar sunnah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Al-Quran
diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw (melalui Malaikat Jibril) dalam
Bahasa Arab. Orang-orang mengerti secara langsung, tanpa harus bantuan
penjelasan dari hadis Nabi. Dengan demikian, hadis Nabi tidak diperlukan untuk
memahami petunjuk Al-Quran.
2. Dalam
sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat
Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada
hadis Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadis Nabi merupakan sumber
kemunduran umat Islam. Agar umat islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan
hadis Nabi saw.
3. Asal
mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng
semata. Dinyatakan demikian, karena hadis-hadis Nabi lahir setelah Nabi wafat
(M. Syuhudi Ismail, 1994:20).
4. Menurut
dokter Taufiq Sidqi ( pengingkar sunnah dari
Mesir), tiada
satupun hadis Nabi yang dicatat pada zaman Nabi SAW. Pencatatan hadis terjadi
setelah Nabi SAW wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia
berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis.
5. Menurut pengingkar
sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits sangat lemah untuk
menentukan kesahihan hadits dengan alasan sebagai berikut:
1). Dasar kritik sanad yang dalam ilmu hadits
dikenal dengan istilah ‘Ilm al-Jarh
wa al-Ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian para
periwayat hadits), baru muncul setelah satu setengan abad Nabi SAW wafat.
Dengan demikian para periwayat generasi sahabat Nabi, al-tabi’in, dan atba’
al-tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
2).
Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai
adil oleh ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijriyah.
Dengan konsep ta’dil al-shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas
dari kesalahan dalam melaporkan hadits.
2.7 Bukti Kelemahan Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah
Seluruh
argumen naqli yang diajukan oleh para pengingkar sunnah untuk
menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam adalah lemah
sekali. Bukti-bukti kelemahannya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
QS. An-Nahl: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا
لِّكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: .... Dan Kami turunkan kepadamu
Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..........
Ayat
ini, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh al-Syafi’i mengandung pengertian
dan petunjuk yang menjelaskan bahwa:
1. Ayat Al-Quran secara tegas menerangkan
adanya:
a.
berbagai kewajiban
b.
berbagai larangan
c. teknis pelaksanaan ibadah tertentu.
2. ayat Al-Quran menjelaskan adanya kewajiban
tertentu yang sifatnya global.
3. Nabi SAW menetapkan suatu ketentuan, yang
dalam Al-Quran ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam
hadits tersebut wajib ditaati sebab Allah SWT menyuruh orang-orang yang beriman
untuk mematuhi petunjuk Nabi SAW.
4. Allah SWT mewajibkan para hamba-Nya (yang
memenuhi syarat) untuk melakukan kegiatan ijtihad. Kedudukan kewajiban
melakukan ijtihad itu sama dengan kedudukan kewajiban-kewjiban lainnya yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Dengan
demikian, QS. Al-Nahl: 89 sama sekali tidak menolak hadits (sunnah)
sebagai salah satu sumber ajaran Islam, bahkan ayat tersebut menekankan
pentingnya hadits (sunnah), di samping ijtihad.
b.
QS.
Al-An’am: 38
مَّا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Artinya: ... Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Alkitab.........
Ayat ini yang dinyatakan oleh para pengingkar
sunnah sebagai argumen untuk menolak sunnah adalah adalah tidak
benar dengan alasan bahwa:
1. Menurut
sebagian ulama, yang dimaksud dengan alkitab dalam ayat tersebut adalah
Al-Quran. Ketentuan itu ada yang bersifat global dan ada yang bersifat rinci.
Ketentuan yang bersifat global dijelaskan rinciannya oleh hadits Nabi SAW. Apa
yang dijelaskan oleh Nabi SAW menurut Al-Quran wajib dipatuhi orang-orang
beriman.
2. Menurut
sebagian ulama, yang dimaksud dengan kata alkitab dalam ayat tersebut
adalah al-lauh al-mahfuzh. Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua
peristiwa tidak ada yang dialpakan oleh Allah SWT. Pengertian tersebut sesuai
denga maksud teks ayat yang bersangkutan. Dalam ayat itu Allah SWT menerangkan
bahwa semua binatang yang melata dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya
adalah umat juga sebagaimana manusia. Allah SWT telah menetapkan rezekinya,
ajalnya, dan pebuatannya di lauh al-mahfuzh.
Dengan
demikian QS. Al-An’am: 38 sama sekali tidak menunjukkan penolakannya terhadap
hadits Nabi SAW. Menurut pendapat yang disebutkan pertama, ayat ini justru
menilai sangat penting kedudukan hadits dalam kesumberan ajaran Islam.
c.
Matan dan riwayat hadits yang telah digunakan
oleh para pengingkar sunnah untuk menolak sunnah sebagai salah
satu sumber ajaran Islam, setelah diteliti masing-masing sanadnya, ternyata
kualitasnya sangat lemah, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kelemahan dari
berbagai sanad itu ada yang berupa sanad terputus dan ada yang periwayatnya majhul,
bahkan ada yang periwayatnya tertuduh dusta.
Suatu
hal yang sangat ironis, pengingkar hadits telah memakai dalil hadits, namun
hadits yang dipakainya itu adalah hadits yang sangat lemah sandnya yang oleh
ulama pendukung hadits, hadits yang berkualitas ditolak untuk dijadikan dalil.
Kenyataan itu sebagai bukti bahwa para pengingkar sunnah sesungguhnya
tidak banyak mengetahui seluk beluk berbagai ilmu berkenaan dengan sunnah,
khususnya yang berkaitan erat dengan penelitian sunnah atau hadits.[9]
Dengan demikian para pengingkar sunnah telah melanggar petunjuk Al-Quran
yang termuat dalam QS. Al-Isra’: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ~ عِلْمٌ .
اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُوْلًا
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, (karena) sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan ditanya.
2.8 Kelemahan Argumen-Argumen Aqli
a. Al-Quran memang benar tertulis dalam Bahasa
Arab. Dalam Bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Quran, terdapat kata-kata yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, ada yang berstatus global dan ada
yang berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa ayat berlaku khusus ataupun rinci,
diperlukan petunjuk Al-Quran dan hadits Nabi SAW.
Para pengingkar
sunnah menyatakan bahwa orang-orang yang berpengetahuan mendalam tentang
Bahasa Arab dapat memahami Al-Quran tanpa bantuan hadits Nabi SAW. Pada
kenyataannya banyak orang yang mendalam pengetahuan mereka tentang Bahasa Arab
tetapi mereka tetap menghajatkan bantuan kepada hadits Nabi SAW untuk memahami
ayat-ayat Al-Quran.
b. Memang benar umat Islam dalam sejarah telah
mengalami kemunduran. Salah satu sebab yang menjadikan umat Islam mundur ialah
karena umat Islam mengalami perpecahan. Umat Islam pecah sama sekali bukan
disebabkan oleh sikap mereka yang berpegang kepada hadits.
Ajaran
hadits telah ikut mendorong memajukan umat Islam karena hadits Nabi SAW,
sebagaimana Al-Quran, telah meninggalkan orang-orang yang beriman untuk
menuntut pengetahuan. Di samping itu, hadits Nabi SAW, sebagaimana Al-Quran
telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bersatu dan menjauhi
perpecahan.
c. Pernyataan
pengingkar sunnah yang menyatakan bahwa hadits Nabi SAW lahir setelah
lama Nabi SAW wafat merupakan pernyataan yang tidak memiliki argumen yang kuat.
Umat Islam memberikan perhatian yang besar kepada hadits Nabi SAW tidaklah
dimulai pada zaman al-tabi’in dan atba’ al-tabi’in, tetapi sejak
zaman Nabi SAW, Ibn Abbas, dan Ibn ‘Amr bin al-‘Ash, sekedar untuk menyebutkan
sebagai contoh, adalah para sahabat Nabi SAW yang rajin mencatat hadits Nabi
SAW.
Pernyataan
para pengingkar sunnah yang menyatakan bahwa dalam Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim terdapat hadits yang berkualitas lemah (dhaif)
ataupun diduga palsu, maka hal itu tidaklah berarti bahwa seluruh hadits di
kitab-kitab itu berkualitas lemah ataupun palsu. Sekiranya dalam kitab-kitab
hadits termasuk juga yang bertaraf standar, terdapat beberapa matan hadits yang
tampak bertentangan dengan Al-Quran, logika, sejarah, ataupun dengan
hadits-hadits yang lain, maka hal itu tidaklah berarti bahwa seluruh hadits
harus dinyatakan sebagai berkualitas lemah ataupun palsu. Untuk menghadapi
hadits-hadits yang tampak bertentangan, ulama hadits telah menciptakan salah
satu cabang ilmu hadits yang dikenal dengan nama ‘ilm mukhtalif al-hadits
atau ma’rifah mukhtalif al-hadits. Pembahasan dari cabang ilmu tersebut
melibatkan juga cabang-cabang ilmu hadits yang lain, misalnya ‘ilm asbab
wurud al-hadits dan ‘ilm al-nasikh wa al-mansukh. Jadi adanya
beberapa matan hadits yang tampak bertentangan tidaklah harus disimpulkan bahwa
seluruh hadits harus ditolak kehujjahannya sebagai salah satu sumber ajaran
Islam.
d. Pernyataan
dokter Taufiq Sidqi, pengingkar sunnah dari Mesir, yang menyatakan bahwa
tiada satu pun Hadits Nabi SAW yang dicatat pada zaman Nabi SAW, merupakan
pernyataan dari seorang yang sangat awam pengetahuannya di bidang hadits dan
sejarah penulisan hadits.
Pada
zaman Nabi SAW, cukup banyak hadits Nabi SAW yang secara resmi ditulis.
Dikatakan resmi karena Nabi SAW sendiri yang menyuruh sahabat tertentu untuk
menulisnya. Di samping itu, kalangan sahabat Nabi SAW juga cukup banyak yang
atas inisiatif sendiri melakukan kegiatan penulisan hadits.
Kesalahan-kesalahan
argumen dari para pengingkar sunnah itu disebabkan oleh beberapa faktor,
di antaranya:
a. Sebagian
dari pengingkar sunnah itu memang meyakini bahwa Nbi Muhammad SAW tidak
berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-Quran. Dengan demikian para pengingkar
sunnah itu telah pula mengingkari petunjuk Al-Quran itu sendiri sebab
Al-Quran secara tegas telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diberi
kewenangan untuk menjelaskan Al-Quran dan orang-orang yang beriman diwajibkan
oleh Allah SWT untuk mematuhi Allah SWT dan mematuhi Nabi Muhammad SAW.
b. Sebagian
dari pengingkar sunnah tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
Bahasa Arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan dan pembinaan hadits, berbagai
kaidah, istilah, dan ilmu hadits, serta metodologi penelitian hadits.
c. Sebagian
dari para pengingkar sunnah ingin memahami Islam secara langsung dari
Al-Quran berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan untuk melibatkan
diri pada pengkajian ilmu hadits dan metodologi penelitian hadits yang memiliki
karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian itu timbul mungkin disebabkan
oleh keinginan untuk berpikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu,
khususnya yang berkaitan dengan hadits Nabi Muhammad SAW.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah orang-orang
yang tidak mengakui (mengingkari) akan keberadaan as-sunnah atau al-hadis
sebagai sumber hukum dalam Islam. Golongan ini muncul sejak masa sahabat yaitu
orang-orang yang kurang memerhatikan kedudukan sunnah, namun sifatnya masih
perorangan. Kemudian, menjelang akhir abad kedua, menurut Muhammad Musthafa
Azmi, muncullah orang-orang yang mengingkari sunnah yang tidak di-mutawatir-kan
saja. Pada
masa lalu juga sudah terdapat sejumlah orang atau kelompok yang menolak hadis,
tetapi hal itu lenyap pada akhir abad ke-3. Penolakan hadis (al-sunnah)
ini muncul kembali pada abad ke-13 hijriah yang lalu, akibat pengaruh
penjajahan Barat.
Ada beberapa kelompok yang
yang mengingkari sunnah Rasulullah SAW, mereka menolak sunnah sebagai sumber
ajaran Islam setelah terjadi tahkim (perjanjian) pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Sejak abad ke-13 sampai saat ini baik secara terselubung maupun secara
terang-terangan, para pengingkar sunnah sunnah muncul di berbagai tempat.
Dengan berbagai argumen
naqli dan non naqli, para pengingkar sunnah menolak hadits Rasulullah SAW.
Namun ironisnya, mereka yang menolak sunnah justru menjadikan sunnah sebagai
argumen mereka. Dari berbagai tinjauan hukum Islam terhadap pengingkar sunnah,
para pengingkar sunnah adalah termasuk sesat karena tidak sesuai dengan ajaran
Al-Quran, dimana mereka tidak konsekuen dalam melaksanakan Al-Quran secara
total dan universal.
DAFTAR PUSTAKA
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Husain, Abu Lubabah. 2003.
Pemikiran Hadis Mu’tazilah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ismail, Syuhudi. 1995. Hadis
Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani
Press.
[1] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 142
[2] Ibid,hlm. 141
[3] Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis
Mu’tazilah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003) hlm. 62
[4] Ibid,hlm. 76
[5] Ibid,hlm. 81
[7] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hlm.
16
[8] Ibid,hlm. 20
[9] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hlm.
26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar