Senin, 20 Oktober 2014



INKAR AL-SUNNAH
Makalah dibuat untuk memenuhi tugas kuliah Studi Hadits
                                              
Dosen Matakuliah :
Wahidul Anam, M.Ag

                                



Disusun oleh:
Siti Nurul Hasanah
NIM :
932111114
Kelas / kelompok :
C / 7


          JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KEDIRI
TAHUN AJARAN 2014 







KATA PENGANTAR

الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan petunjuk-Nya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Inkar al-Sunnah” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam senantiasa kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menginspirasi kami dengan segala suri tauladannya. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah Studi Hadits yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, dan orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman umumnya. Penulis menyadari bahwa jika melihat kekurangan dari makalah ini, maka akan banyak celah baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain di waktu mendatang.






Kediri, 14 September 2014


Tim Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..............................................................................................   1
B.     Rumusan Masalah.........................................................................................   1
C.     Tujuan ..........................................................................................................   1

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Inkar Al-Sunnah.........................................................................    2
B.     Sikap Golongan Khawarij Terhadap Sunnah.............................................      2
C.     Sikap Golongan Mu’tazilah Terhadap Sunnah.........................................        2
D.    Sikap Golongan Syiah Terhadap Sunnah..................................................       5
E.     Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah..................................................      5
F.      Argumen Aqli Para Pengingkar Sunnah.....................................................     7
G.    Bukti Kelemahan Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah....................       8
H.    Kelemahan Argumen-Argumen Aqli.........................................................    10

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN...................................................................................................       13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................      14





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada zaman Nabi SAW, umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam di samping Al-Quran. Belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan pada zaman Nabi SAW ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa Khulafa’ Al-Rasyidun dan Bani Umayyah, belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah, muncul secara jelas sekelompok umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar al-sunnah atau munkir al-sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari inkar al-sunnah?
2.      Bagaimana sikap golongan Khawarij terhadap sunnah?
3.      Bagaimana sikap golongan Mu’tazilah terhadap sunnah?
4.      Bagaimana sikap golongan Syiah terhadap sunnah?
5.      Apa argumen Naqli para pengingkar sunnah?
6.      Apa argumen Aqli para pengingkar sunnah?
7.      Apa bukti kelemahan argumen Naqli para pengingkar sunnah?
8.      Apa kelemahan argumen-argumen Naqli?
1.3 Tujuan
      1. Menjelaskan pengertian inkar al-sunnah.
      2. Menjelaskan sikap golongan Khawarij terhadap sunnah.
      3. Menjelaskan sikap golongan Mu’tazilah terhadap sunnah.
      4. Menjelaskan sikap golongan Syiah terhadap sunnah.
      5. Menjelaskan argumen naqli para pengingkar sunnah.
      6. Menjelaskan argumen aqli para pengingkar sunnah.
      7. Menjelaskan bukti kelemahan argumen Naqli para pengingkar sunnah.
      8. Menjelaska kelemahan argumen-argumen Naqli.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inkar al-Sunnah
Kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda-beda, sebab para ulama memandang dari segi yang berbeda-beda pula dan membicarakannya dari segi yang berlainan (Masyfuk Zuhdi, 1993:13).[1]
Menurut ahli hadis, seperti yang dikutip oleh M. M. Azami (1993:14), sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau tingkah laku Nabi Muhammad saw baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya. Dengan pengertian ini, menurut mayoritas ulama, sunnah adalah sinonim dengan hadis.
Menurut ahli-ahli ushul fiqh, sunnah adalah sabda Nabi saw yang bukan berasal dari Al-Quran, pekerjaan atau ketetapannya (Azami,1993:14). Sedangkan Masyfuk Zuhdi (1993:14) memberikan definisi sunnah menurut istilah, yaitu sebagai berikut:
Artinya: Sunnah ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, takrirnya atau selain itu.


Sedangkan pengertian as-sunnah menurut bahasa, seperti dikemukakan oleh Ahmad Wardson Munawwir (1984:716), yaitu sebagai berikut:
1.      As-sunnah dengan makna jalan.
2.      As-sunnah dengan makna tabiat (watak).
3.      As-sunnah dengan makna al-hadis.
Masyfuk Zuhdi memberikan ta’rif as-sunnah menurut bahasa, yaitu “jalan yang ditempuh”. Hal ini sebagaimana di dalam sabda Nabi saw:
Artinya: “Barang siapa yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik,maka baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan menerima pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa memelopori mengerjakan suatu perbuatan yang jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata ingkar sunnah terdiri atas dua kata, yaitu ingkar dan sunnah. Menurut Ahmad Warson Munawwir (1984-1569), kata ingkar berasal dari kata ankara-yunkiru-inkaaran yang berarti sulit, tidak mengakui atau mengingkari. Anton Maulana Muhammad (1088:379) memberikan definisi ingkar sebagai berikut: Ingkar berarti menyangkal, tidak membenarkan,tidak mengakui, mungkar dan tidak menepati. Anton Maulana Muhammad memberikan contoh: ia berusaha membela diri dengan mengingkari tuduhan yang diberikan kepadanya. Mengingkari dalam pengertian di atas, berarti tidak mengakui (menyangkal).[2]
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah orang-orang yang tidak mengakui (mengingkari) akan keberadaan as-sunnah atau al-hadis sebagai sumber hukum dalam Islam.

2.2 Sikap Golongan Khawarij Terhadap Sunnah
Golongan Khawarij memakai sunnah dan memercayainya sebagai sumber hukum Islam, hanya saja ada sumber-sumber yang menyebutkan bahwa mereka menolak hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat tertentu, khususnya setelah peristiwa tahkim. As-Siba’i, seperti yang dikutip oleh M.M. Azmi (1992:42) mengemukakan bahwa Khawarij dengan berbagai kelompoknya yang berbeda itu, sebelum terjadinya perang saudara antar sahabat, menganggap semua sahabat Nabi dapat dipercaya, kemudian mereka mengkafirkan Ali, Usman, para pengikut Perang Unta, dua orang utusan perdamaian, orang-orang yang menerima keputusan perdamaian (tahkim), dan orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua utusan perdamaian tadi.

2.3 Sikap Golongan Mu’tazilah Terhadap Sunnah
Secara umum para ulama salaf sepakat menempatkan akal dan ijtihad pada urutan ketiga setelah Al-Quran dan Sunnah. Kaum Mu’tailah menyalahi kesepakatan ini dan menempatkan akal pada peringkat pertama dalam hirarki dalil-dalil syar’i. Alasannya karena dengan akal kita bisa memahami Al-Quran dan dalil-dalil lainnya.[3]
Kaum Mu’tazilah menegakkan akal yang masih belum jelas arahnya sebagai hukum. Mereka adalah kaum yang terlalu memaksakan penggunaan akal tanpa pertimbangan yang matang dan banyak melakukan penyimpangan terhadap hadits-hadits. Cara berpikir mereka mengandalkan kinerja akal untuk menghakimi Al-Quran dan Sunnah sebenarnya mengekor pada metodenya para peneliti Barat, sehingga mereka mendapatkan piagam dan penghargaan. Sebagai timbal baliknya, para peneliti Barat yang menganut agama Nasrani memberikan pujian terhadap semua peristiwa sejarah yang dialami umat Islam. Di antara pujian tersebut adalah pernyataan Stainer bahwa Mu’tazilah adalah pemikir independen Islam. Julukan ini selanjutnya dijadikan sebagai tema sentral dalam bukunya.
Al-Nidzam memperbolehkan mendustakan Hadits Mutawatir karena adanya kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam hadits tersebut. Abu Hudzail berpendapat bahwa hujjah tidak bisa ditegakkan terhadap hal-hal yang luputdari panca indera baik itu berupa hadits-hadits Nabi maupun lainnya, kecuali jika hadits tersebut diriwayatkan oleh 20 orang dan satu atau lebih periwayatnya termasuk ahlu jannah (orang yang dijamin masuk surga).[4]
Kaum Mu’tazilah menolak Hadits Ahad dan mensyaratkan adanya jumlah yang banyak. Di antara tokoh Mu’tazilah yang menolak Hadits Ahad adalah Abu Hasan. Ia mengingkari kehujjahan hadits Ahad. Begitu juga Abu Hudzail Ali Al-Jubbai sebagaimana dikatakan Al-Maziri dan lainnya, disebut sebagai orang yang tidak mau menerima hadits, jika hanya diriwayatkan oleh satu rawi adil. Sebagian orang menyatakan bahwa Al-Jubbai tidak menerima hadits kecuali jika hadits tersebut diriwayatkan oleh empat orang.
Hadits seperti ini bisa diterima dengan syarat:
a.       Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh rawi adil lainnya.
b.      Teks hadits tersebut dikuatkan oleh teks hadits lainnya atau teksnya tidak bertentangan dengan teks Al-Quran.
c.       Hadits tersebut diamalkan oleh sebagian sahabat.

Para ulama Ahli Sunnah telah mengemukakan dalil-dalil mengenai kehujjahan Hadits Ahad. Berkaitan dengan hal ini, Imam As-Syafii menulis satu bab khusus membahas masalah ini dalam Kitab Ar-Risalah. Begitu juga Imam Al-Bukhari, beliau menulis satu bab khusus dalam Kitabnya Jami’ Al-Shahih untuk menolak pemikiran Kaum Mu’tazilah. Bab tersebut adalah bab diperbolehkannya meriwayatkan Hadits Ahad. Bahkan hampir di semua kitab-kitab Musthalah Al-Hadits terdapat pembahasan mengenai kehujjahan Hadits Ahad dan bantahan terhadap orang-orang yang menolaknya.
Kesimpulan akhir yang bisa diambil menurut batasan yang dikemukakan oleh Ibnu Bathal adalah perlunya pengkajian mendalam terhadap Hadits Ahad, karena dikhawatirkan rawinya lupa atau ada kekeliruan lainnya.
Saat Kaum Mu’tazilah meriwayatkan Hadits Ahad, dalam periwayatannya mereka tidak menggunakan redaksi yang pasti (Syiyagh Al-Jazm), tetapi menggunakan redaksi yang lemah (Syiyagh Al-Tamrid). Penolakan mereka terhadap Hadits Ahad berati mereka telah menolak banyak hukum-hukum syar’i, karena kebanyakan kewajiban-kewajiban agama dan masalah-masalah syariat lainnya ditegakkan dengan Hadits Ahad.[5]
Jika Kaum Mu’tazilah mendapatkan ayat-ayat Al-Quran menyalahi dasar pemikiran mereka, maka mereka akan menta’wilnya (memberikan interpretasi lain). Jika yang menyalahi itu hadits-hadits Nabi, maka mereka akan mengingkarinya. Dengan demikian sikap mereka terhadap hadits seperti sikapnya orang yang meragukan otentisitasnya. Bahkan terkadang sikap mereka seperti orang yang tidak mempercayai hadits karena mereka menggunakan akal untuk menghukumi hadits, bukan hadits untuk menghukumi akal.
Keputusan hukum yang diambil berdasarkan akal dijadikannya sebagai cara untuk menentang Allah swt dan Rasulullah saw. Kebanyakan dari Kaum Mu’tazilah adalah orang-orang yang terlalu berani kepada Allah swt dan Rasulullah saw, karena berpedoman dengan akal.
Kaum Mu’tazilah juga mengkritik para perawi khususnya sahabat, mengingkari Hadits Mutawatir, menolak Hadits Ahad, mengingkari dan meragukan terhadap banyak hadits, dan mereka memalsukan hadits untukmemperkuat pandangan bid’ah mereka. Mereka tidak memerhatikan hadits, hanya berlindung dengan hadits. Jika terpaksa, mereka dapat saja memalsukan hadits untuk memperkuat pikiran mereka.




2.4 Sikap Golongan Syiah Terhadap Sunnah
Sebagian besar golongan Syiah, yang dimaksudkan di sini ialah mereka yang masih berbeda dalam lingkungan Islam, mendiskualifikasikan (menganggap tidak cakap dan mampu) kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, serta umumnya para sahabat yang menjadi pengikut mereka, Muawiyah dan Amr ibnu Ash, serta sahabat lain yang terlibat dalam perampasan kekhalifahan Ali. Lebih jauh, kaum Syiah sesungguhnya mendiskualifikan umumnya para sahabat, kecuali beberapa orang yang dikenal kecintaannya kepada Ali. Mereka menolak as-sunnah umumnya dari sahabat, kecuali yang diturunkanoleh para pengikut Ali (Nurcholis Madjid, 1994:104).[6]
Jadi jelas, bahwa sejak masa lalu, umat Islam sepakat untuk menerima hadis dan dijadikannya sebagai sumber hukum Islam yang wajib dipatuhi. Pada masa lalu juga sudah terdapat sejumlah orang atau kelompok yang menolak hadis, tetapi hal itu lenyap pada akhir abad ke-3. Penolakan hadis (al-sunnah) ini muncul kembali pada abad ke-13 hijriah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan Barat.

2.5 Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah

Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Quran saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadis Nabi SAW. Memang agak ironi juga bahwa mereka yang berpaham inkar al-sunnah ternyata telah mengajukan sunnah sebagai argumen membela paham mereka. Argumen naqli tersebut di antaranya:
a.       QS. An-Nahl: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

Artinya: .... Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..........

b.      QS. Al-An’am: 38
مَّا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ

Artinya: ... Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Alkitab.........

Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Al-Quran telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama.[7] Mereka juga berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-Quran kepada ummatnya. Nabi Muhammad SAW hanya bertugas menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya. Di luar hal tersebut, Nabi Muhammad SAW tidak memiliki wewenang. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada Rasulullah SAW. Hal itu menurut para pengingkar sunnah hanya berlaku tatkala Rasulullah SAW masih hidup, yakni tatkala “jabatan” sebagai ulul amri berada di tangn beliau. Setelah beliau wafat, maka jabatan ulul amri berpindah kepada orang lain, dan karenanya, kewajiban patuh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW menjadi gugur.


c.       Sejumlah riwayat hadis, antara lain:

مَا اَتَاكُمْ عَنِّيْ فَاَعْرِضُوْهُ عَلَى كِتَابِ اللهِ فَاِنْ وَافَقَ كِتَابَ اللهِ فَلَمْ اَقُلْهُ. وَاِنَّمَا اَنَا مُوَافِقٌ كِتَابَ اللهِ وَ بِهِ هَدَانِى اللهُ

Artinya: Apa yang datang kepadamu dari saya, maka konfirmasikanlah dengan Kitabullah; jika sesuai dengan Kitabullah, maka hal itu berarti saya telah mengatakannya; dan jika ternyata menyalahi Kitabullah, maka hal itu bukanlah saya yang mengatakannya. Dan sesungguhnya saya (selalu) sejalan dengan Kitabullah dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepada saya.

Menurut para pengingkar sunnah, berdasarkan riwayat tersebut, maka yang harus dipegangi bukanlah hadis Nabi SAW, melainkan Al-Quran. Dengan demikian menurut hadis tersebut, hadis atau sunnah tidaklah berstatus sebagai sumber ajaran Islam.
d.      Ayat-ayat Al-Quran, di antaranya:
1). QS. Fathir: 31
وَالَّذِىْ اَوْ حَيْنَا اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ
Artinya: Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, yakni Alkitab (Al-Quran), itulah yang benar.....
2). QS. Yunus: 36
وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلَّا ظَنًّا اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali hanya persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.....



2.6 Argumen Aqli Para Pengingkar Sunnah
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non naqli ialah argumen-argumen yang tidak berupa Al-Quran atau hadis-hadis Nabi saw. Walaupun sebagian argumen-argumen itu ada yang menyinggung sisi tertentu dari ayat Al-Quran ataupun al-hadis, tetapi karena yang dibahasnya bukanlah ayat ataupun matan hadisnya secara khusus, maka argumen-argumen tersebut dimasukkan ke dalam argumen-argumen non naqli.[8]
Di antara argumen non naqli yang diungkapkan oleh pengingkar sunnah tersebut ialah sebagai berikut:
1.      Al-Quran diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw (melalui Malaikat Jibril) dalam Bahasa Arab. Orang-orang mengerti secara langsung, tanpa harus bantuan penjelasan dari hadis Nabi. Dengan demikian, hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Al-Quran.
2.      Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadis Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadis Nabi merupakan sumber kemunduran umat Islam. Agar umat islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadis Nabi saw.
3.      Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadis-hadis Nabi lahir setelah Nabi wafat (M. Syuhudi Ismail, 1994:20).
4.      Menurut dokter Taufiq Sidqi ( pengingkar sunnah dari Mesir), tiada satupun hadis Nabi yang dicatat pada zaman Nabi SAW. Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi SAW wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis.
5.      Menurut pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadits dengan alasan sebagai berikut:
1).  Dasar kritik sanad yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah ‘Ilm al-Jarh         wa al-Ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadits), baru muncul setelah satu setengan abad Nabi SAW wafat. Dengan demikian para periwayat generasi sahabat Nabi, al-tabi’in, dan atba’ al-tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
2). Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijriyah. Dengan konsep ta’dil al-shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan hadits.

2.7 Bukti Kelemahan Argumen Naqli Para Pengingkar Sunnah

Seluruh argumen naqli yang diajukan oleh para pengingkar sunnah untuk menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam adalah lemah sekali. Bukti-bukti kelemahannya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       QS. An-Nahl: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

Artinya: .... Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..........
 Ayat ini, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh al-Syafi’i mengandung pengertian dan petunjuk yang menjelaskan bahwa:
1. Ayat Al-Quran secara tegas menerangkan adanya:
a. berbagai kewajiban
b. berbagai larangan
c. teknis pelaksanaan ibadah tertentu.
2. ayat Al-Quran menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global.
3. Nabi SAW menetapkan suatu ketentuan, yang dalam Al-Quran ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadits tersebut wajib ditaati sebab Allah SWT menyuruh orang-orang yang beriman untuk mematuhi petunjuk Nabi SAW.
4. Allah SWT mewajibkan para hamba-Nya (yang memenuhi syarat) untuk melakukan kegiatan ijtihad. Kedudukan kewajiban melakukan ijtihad itu sama dengan kedudukan kewajiban-kewjiban lainnya yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Dengan demikian, QS. Al-Nahl: 89 sama sekali tidak menolak hadits (sunnah) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits (sunnah), di samping ijtihad.
b.       QS. Al-An’am: 38
مَّا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ

Artinya: ... Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Alkitab.........

Ayat ini yang dinyatakan oleh para pengingkar sunnah sebagai argumen untuk menolak sunnah adalah adalah tidak benar dengan alasan bahwa:
1.      Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan alkitab dalam ayat tersebut adalah Al-Quran. Ketentuan itu ada yang bersifat global dan ada yang bersifat rinci. Ketentuan yang bersifat global dijelaskan rinciannya oleh hadits Nabi SAW. Apa yang dijelaskan oleh Nabi SAW menurut Al-Quran wajib dipatuhi orang-orang beriman.
2.      Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan kata alkitab dalam ayat tersebut adalah al-lauh al-mahfuzh. Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua peristiwa tidak ada yang dialpakan oleh Allah SWT. Pengertian tersebut sesuai denga maksud teks ayat yang bersangkutan. Dalam ayat itu Allah SWT menerangkan bahwa semua binatang yang melata dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya adalah umat juga sebagaimana manusia. Allah SWT telah menetapkan rezekinya, ajalnya, dan pebuatannya di lauh al-mahfuzh.
Dengan demikian QS. Al-An’am: 38 sama sekali tidak menunjukkan penolakannya terhadap hadits Nabi SAW. Menurut pendapat yang disebutkan pertama, ayat ini justru menilai sangat penting kedudukan hadits dalam kesumberan ajaran Islam.
c.       Matan dan riwayat hadits yang telah digunakan oleh para pengingkar sunnah untuk menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam, setelah diteliti masing-masing sanadnya, ternyata kualitasnya sangat lemah, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kelemahan dari berbagai sanad itu ada yang berupa sanad terputus dan ada yang periwayatnya majhul, bahkan ada yang periwayatnya tertuduh dusta.

Suatu hal yang sangat ironis, pengingkar hadits telah memakai dalil hadits, namun hadits yang dipakainya itu adalah hadits yang sangat lemah sandnya yang oleh ulama pendukung hadits, hadits yang berkualitas ditolak untuk dijadikan dalil. Kenyataan itu sebagai bukti bahwa para pengingkar sunnah sesungguhnya tidak banyak mengetahui seluk beluk berbagai ilmu berkenaan dengan sunnah, khususnya yang berkaitan erat dengan penelitian sunnah atau hadits.[9] Dengan demikian para pengingkar sunnah telah melanggar petunjuk Al-Quran yang termuat dalam QS. Al-Isra’: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ~ عِلْمٌ . اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan ditanya.

2.8 Kelemahan Argumen-Argumen Aqli

a. Al-Quran memang benar tertulis dalam Bahasa Arab. Dalam Bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Quran, terdapat kata-kata yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, ada yang berstatus global dan ada yang berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa ayat berlaku khusus ataupun rinci, diperlukan petunjuk Al-Quran dan hadits Nabi SAW.
Para pengingkar sunnah menyatakan bahwa orang-orang yang berpengetahuan mendalam tentang Bahasa Arab dapat memahami Al-Quran tanpa bantuan hadits Nabi SAW. Pada kenyataannya banyak orang yang mendalam pengetahuan mereka tentang Bahasa Arab tetapi mereka tetap menghajatkan bantuan kepada hadits Nabi SAW untuk memahami ayat-ayat Al-Quran.
b. Memang benar umat Islam dalam sejarah telah mengalami kemunduran. Salah satu sebab yang menjadikan umat Islam mundur ialah karena umat Islam mengalami perpecahan. Umat Islam pecah sama sekali bukan disebabkan oleh sikap mereka yang berpegang kepada hadits.
Ajaran hadits telah ikut mendorong memajukan umat Islam karena hadits Nabi SAW, sebagaimana Al-Quran, telah meninggalkan orang-orang yang beriman untuk menuntut pengetahuan. Di samping itu, hadits Nabi SAW, sebagaimana Al-Quran telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bersatu dan menjauhi perpecahan.
c. Pernyataan pengingkar sunnah yang menyatakan bahwa hadits Nabi SAW lahir setelah lama Nabi SAW wafat merupakan pernyataan yang tidak memiliki argumen yang kuat. Umat Islam memberikan perhatian yang besar kepada hadits Nabi SAW tidaklah dimulai pada zaman al-tabi’in dan atba’ al-tabi’in, tetapi sejak zaman Nabi SAW, Ibn Abbas, dan Ibn ‘Amr bin al-‘Ash, sekedar untuk menyebutkan sebagai contoh, adalah para sahabat Nabi SAW yang rajin mencatat hadits Nabi SAW.
Pernyataan para pengingkar sunnah yang menyatakan bahwa dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadits yang berkualitas lemah (dhaif) ataupun diduga palsu, maka hal itu tidaklah berarti bahwa seluruh hadits di kitab-kitab itu berkualitas lemah ataupun palsu. Sekiranya dalam kitab-kitab hadits termasuk juga yang bertaraf standar, terdapat beberapa matan hadits yang tampak bertentangan dengan Al-Quran, logika, sejarah, ataupun dengan hadits-hadits yang lain, maka hal itu tidaklah berarti bahwa seluruh hadits harus dinyatakan sebagai berkualitas lemah ataupun palsu. Untuk menghadapi hadits-hadits yang tampak bertentangan, ulama hadits telah menciptakan salah satu cabang ilmu hadits yang dikenal dengan nama ‘ilm mukhtalif al-hadits atau ma’rifah mukhtalif al-hadits. Pembahasan dari cabang ilmu tersebut melibatkan juga cabang-cabang ilmu hadits yang lain, misalnya ‘ilm asbab wurud al-hadits dan ‘ilm al-nasikh wa al-mansukh. Jadi adanya beberapa matan hadits yang tampak bertentangan tidaklah harus disimpulkan bahwa seluruh hadits harus ditolak kehujjahannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
d. Pernyataan dokter Taufiq Sidqi, pengingkar sunnah dari Mesir, yang menyatakan bahwa tiada satu pun Hadits Nabi SAW yang dicatat pada zaman Nabi SAW, merupakan pernyataan dari seorang yang sangat awam pengetahuannya di bidang hadits dan sejarah penulisan hadits.
Pada zaman Nabi SAW, cukup banyak hadits Nabi SAW yang secara resmi ditulis. Dikatakan resmi karena Nabi SAW sendiri yang menyuruh sahabat tertentu untuk menulisnya. Di samping itu, kalangan sahabat Nabi SAW juga cukup banyak yang atas inisiatif sendiri melakukan kegiatan penulisan hadits.

Kesalahan-kesalahan argumen dari para pengingkar sunnah itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
a.       Sebagian dari pengingkar sunnah itu memang meyakini bahwa Nbi Muhammad SAW tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-Quran. Dengan demikian para pengingkar sunnah itu telah pula mengingkari petunjuk Al-Quran itu sendiri sebab Al-Quran secara tegas telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diberi kewenangan untuk menjelaskan Al-Quran dan orang-orang yang beriman diwajibkan oleh Allah SWT untuk mematuhi Allah SWT dan mematuhi Nabi Muhammad SAW.
b.      Sebagian dari pengingkar sunnah tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Bahasa Arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan dan pembinaan hadits, berbagai kaidah, istilah, dan ilmu hadits, serta metodologi penelitian hadits.
c.       Sebagian dari para pengingkar sunnah ingin memahami Islam secara langsung dari Al-Quran berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan untuk melibatkan diri pada pengkajian ilmu hadits dan metodologi penelitian hadits yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian itu timbul mungkin disebabkan oleh keinginan untuk berpikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaitan dengan hadits Nabi Muhammad SAW.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah orang-orang yang tidak mengakui (mengingkari) akan keberadaan as-sunnah atau al-hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Golongan ini muncul sejak masa sahabat yaitu orang-orang yang kurang memerhatikan kedudukan sunnah, namun sifatnya masih perorangan. Kemudian, menjelang akhir abad kedua, menurut Muhammad Musthafa Azmi, muncullah orang-orang yang mengingkari sunnah yang tidak di-mutawatir-kan saja. Pada masa lalu juga sudah terdapat sejumlah orang atau kelompok yang menolak hadis, tetapi hal itu lenyap pada akhir abad ke-3. Penolakan hadis (al-sunnah) ini muncul kembali pada abad ke-13 hijriah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan Barat.
Ada beberapa kelompok yang yang mengingkari sunnah Rasulullah SAW, mereka menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah terjadi tahkim (perjanjian) pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Sejak abad ke-13 sampai saat ini baik secara terselubung maupun secara terang-terangan, para pengingkar sunnah sunnah muncul di berbagai tempat.
Dengan berbagai argumen naqli dan non naqli, para pengingkar sunnah menolak hadits Rasulullah SAW. Namun ironisnya, mereka yang menolak sunnah justru menjadikan sunnah sebagai argumen mereka. Dari berbagai tinjauan hukum Islam terhadap pengingkar sunnah, para pengingkar sunnah adalah termasuk sesat karena tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran, dimana mereka tidak konsekuen dalam melaksanakan Al-Quran secara total dan universal.







DAFTAR PUSTAKA


Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Husain, Abu Lubabah. 2003. Pemikiran Hadis Mu’tazilah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ismail, Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.





[1] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 142

[2] Ibid,hlm. 141
[3] Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003) hlm. 62
[4] Ibid,hlm. 76
[5] Ibid,hlm. 81
[6] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 145


[7] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hlm. 16
[8] Ibid,hlm. 20
[9] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hlm. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar